Road to 2023
Nulis Lepas

Pergantian Tahun : Apa yang sudah kita selesaikan?


Sejak kemarin sore hingga malam ini, suara motor dengan knalpot bodong hasil modifikasi berteriak meraung-raung di jalanan depan kantor saya. Mudah diduga kalau pemiliknya adalah para remaja tanggung dari kampung. Rambut alay, kaos lusuh, kulit gosong dan alas kaki seadanya adalah ciri-cirinya. Saya berani taruhan kalau isi dompet mereka tidak lebih dari 50 ribu rupiah.

modif knalpotTidak habis pikir, motor bagus-bagus mereka preteli dan dicopot knalpotnya hanya untuk menyambut tahun baru. “Setahun sekali, Bos”, seloroh mereka sambil memainkan gas (blayer) di stang motor. Perasaan saya tidak hanya tahun baru, ketika musim lulusan sekolah pemandangan model begitu juga sering saya lihat. Ah, ini Surabaya, Bung. Kota besar yang kurang memperhatikan kualitas remajanya. Sebagian besar orangtua disini sibuk kerja dan berpendidikan minim.

Bukannya saya iri dengan anak muda jarang keramas yang larut dalam euforia perayaan tahun baru, tapi rasa-rasanya perilaku mereka sudah berlebihan. Arak-arakan bermotor bersama pasangan, cangkruk seharian di cafe, di pelabuhan, di taman kota/alun-alun, menikmati pesta kembang api, meniup-niup terompet, sampai perayaan yang agak gelap semisal pesta narkoba, dugem di diskotik, dsj merupakan pilihan-pilihan miring yang disuguhkan dalam setiap pergantian tahun.

Lima tahun terakhir ini tiap pergantian tahun, sebagai orang lapangan saya memang berada di kantor untuk melaksanakan Satgas Pengamanan BBM dalam rangka Natal & Tahun baru. Ketika warga kota (termasuk anak muda alay diatas tadi) asyik menyalakan kembang api, saya dan kawan-kawan kantor justru standby untuk siap sedia memadamkannya. Bisa bayangkan kalau ada kembang api yang nyasar lantas nyelonong masuk ke area tangki tempat penimbunan BBM di kantor kami? Suplai BBM untuk warga Surabaya bisa terganggu. Meskipun siap dengan jalur suply kondisi RAE (Regular, Alternative and Emergency) tapi bisa berabe dan heboh kalau peristiwa kebakaran tangki timbun sampai terjadi.

masyarakat tahun baruan di jalanDiam-diam saya membatin, kapan ya perayaan tahun baru tidak diwarnai dengan perayaan yang sia-sia?. Sia-sia menghabiskan BBM dengan keluar rumah menggunakan kendaraan (sepeda motor, mobil, dsb).

Sia-sia mengerahkan biaya untuk petugas  keamanan jalan dan pengaturan lalu-lintas.Sia-sia menghabiskan ratusan juta bahkan miliaran rupiah untuk menghelat pertunjukan-pertunjukkan meriah penuh suguhan musik, artis papan atas, budayawan nasional, kirab fashion, drum-band, marching band, tari-tarian, aksi lighting panggung, dekorasi, kostum wah, pesta kembang api, dsb. Tanpa disadari pada dasarnya semua bentuk perayaan tersebut merupakan pemborosan yang jarang kita sadari.

Affluent Society

Sekitar 50 tahun lalu, ekonom AS terkemuka Prof John Kenneth Galbraith resah atas gejala konsumtif berlebihan masyarakat AS yang dia sebut dengan istilah ”the affluent society” -masyarakat konsumtif berlebihan. Istilah khas itu menjadi judul bukunya (The Affluent Society, Boston: Houghton Mifflin, 1958).

Sebagai ekonom strukturalis, yaitu ekonom yang peka akan ketimpangan struktural atau prihatin terhadap ketidakadilan sosial-ekonomi, Galbraith bersikap prorakyat miskin dan tentu antipasar bebas. Memang begitulah yang diajarkan kaum strukturalis, pasar bebas hanya akan menguntungkan si kaya dan memojokkan si miskin yang lemah sosial-ekonominya.

Apa yang diwaspadai Galbraith 50 tahun lalu itu saat ini malah ditiru dan berkembang bak virus di negeri kita. Affluent society pada hakikatnya adalah suatu masyarakat yang suka bermewah-mewah, entah karena sikap hidup materialistis maupun mengumbar naluri pamer (demonstration-effect).

Namun, jauh hari kemudian terbukti di AS, kemewahan ekonomi si kaya dibayar dengan peningkatan kesengsaraan ekonomi si miskin. Dengan kata lain, sesuai istilah Lester Thurow (1990), terbentuklah suatu ”zero-sum society” bagi masyarakat AS.

Affluent society merupakan suatu masyarakat yang boros, lebih menunjukkan sikap konsumtif daripada sikap produktif. Dengan demikian, dana yang seharusnya bisa digunakan untuk meningkatkan produktivitas ekonomi masyarakat, khususnya produktivitas kelompok yang miskin dan belum teberdayakan, dihamburkan untuk kemewahan konsumtif kelompok menengah dan menengah ke atas. Laju produktivitas nasional tidak optimal. Itu tentu merupakan suatu pemborosan sosial (waste of social resources).

Dengan kemiskinan ekstrem yang masih melanda negeri kita, dengan wujud dan dampaknya yang patut disebut malapetaka, affluency itu dapat dikatakan sebagai fenomena tragis. Sampai disini saya tidak akan banyak berteori (takut nanti Anda pikir saya lagi nyampaikan materi perkuliahan), sebab garis besarnya sudah bisa kita petik. Inilah bangsa kita, bangsa yang bangga akan pamer kemewahan, mengejar kebahagiaan sesaat, suka memuaskan nafsu, cenderung boros, dan larut dalam euforia perayaan ketimbang meningkatkan produktivitas.

Di penghujung tahun ini alangkah baiknya jika kita berusaha untuk banyak merenung dan memikirkan apa yang sudah raih dan apa yang sudah kita selesaikan. Jangan-jangan masih banyak tugas yang terbengkalai, masih seabrek target pribadi kita yang belum terwujud. Atau ada janji yang belum tertunaikan, ada amanah yang belum tersampaikan, ada kewajiban yang belum terselesaikan.

mikir Bung!

mikir Bung!

Pergantian tahun seyogyanya bukan untuk dirayakan. Ia hanyalah momen peringatan untuk kita bahwa waktu berjalan begitu cepat, jatah umur semakin kita semakin berkurang dan seberapa barokah hidup yang sudah kita lakoni selama tahun yang akan berganti ini.

Pergantian tahun bukanlah untuk dirayakan. Ia hanyalah momen peringatan.

Tetap istiqomah,

muhsin-budiono

 

Lihatlah Dirimu

Kau seorang  yang biasa membual,
Bahwa suatu saat nanti sesuatu yang sangat besar akan kau capai
Sebenarnya kau hanya mau pamer,
Betapa luas pengetahuanmu, betapa gigih keinginanmu
Betapa mantap visi hidupmu, dan betapa  besar  cita-cita  yang ingin kau raih
Dan kini . . .
Berapa tahun sudah umurmu ?
Berapa kesempatan yang  telah kau lewatkan ?,
Apa lagi yang terlintas dipikiranmu saat ini ?
Berapa banyak peristiwa besar yang telah kau lakukan?
Waktu  telah memberikan  detik demi detiknya padamu
Hari berganti, bulan berlalu dan pergantian tahun  selalu kau genggam adanya
Berapa banyak waktu yang kau gunakan dengan berani untuk meraih peluang
Dan waktu kapan saja kau kembali gagal ?
Seribu alasan kau sodorkan, jutaan apologi kau hadirkan
Padahal kau memang malas, lunak terhadap dirimu sendiri dan penakut
Kau selalu sibuk dengan orang lain dan  hal-hal kecil  yang kau lakukan
Hidup ini singkat, jangan habis hanya untuk  perbuatan-perbuatan kecil
Dan kini…,
Di daftar orang-orang yang berhasil,
Lagi-lagi namamu tidak tercantum.
Jelaskan kenapa  !?
Bukan peluang  yang tidak kau punya !
Seperti biasa,
kau tidak fokus………, dan tidak berbuat apa-apa.

 

 

 

About muhsin budiono

Karyawan, Followership Practitioner dan Penulis Buku. Mengenyam pendidikan di Institut Teknologi Sepuluh Nopember jurusan Marine Engineering (Lulus tahun 2006) dan Narotama University studi Management (Lulus tahun 2014). Followership Practitioner pertama di Indonesia [Certified by Ira Chaleff, Belgium-2017]. Anggota ILA (International Leadership Association). Pemegang Rekor MURI (Museum Rekor Dunia-Indonesia). Disaat banyak orang Indonesia memuji dan mendalami Leadership, muhsin memilih jatuh hati pada Followership sejak 2007 yang lalu. Di tahun 2013 muhsin menulis buku tentang belajar Followership ala Indonesia berjudul "The Jongos Ways" (TJW) yang fenomenal dan menggugah ribuan pekerja di Indonesia. Berbekal buku TJW muhsin semakin getol membumikan Followership ke seluruh penjuru nusantara secara cuma-cuma/tanpa memungut biaya melalui kegiatan-kegiatan seminar, bedah buku, pembuatan video animasi hingga konsultasi gratis. Hal itu dilakukan sebab menurutnya Indonesia sudah “terlambat” lebih dari 23 tahun dalam mengembangkan Followership. Atas upayanya tersebut pada akhir tahun 2014 muhsin mendapat undangan dari International Leadership Association untuk menghadiri International Followership Symposium di Amerika sebagai satu-satunya wakil dari Indonesia. Disana ia intens berdiskusi dengan beberapa pakar followership dunia dan dinisbatkan sebagai pemerhati followership pertama dari Indonesia. Di tahun 2016 Muhsin juga mendapat kehormatan untuk berbicara tentang Followership dihadapan ratusan praktisi Human Resources di Indonesia dalam forum nasional the 8th Indonesia Human Resources Summit (IHRS). Sementara ini muhsin berkarya di Perusahaan Migas Nasional kebanggaan Indonesia: PT Pertamina (Persero) dan sedang mengumpulkan serta menyusun kerikil demi kerikil untuk dijadikan batu lompatan dalam meraih cita-cita sebagai International Islamic Followership Trainer di tahun 2023 mendatang. Muhsin juga memiliki keinginan kuat untuk resign bekerja agar bisa kuliah/belajar lagi di Saudi Arabia guna mendalami teori Islamic Followership yang sedang dikembangkannya.

Discussion

No comments yet.

Your Comment Please . . .

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Road to International Islamic Followership Trainer

18 June 2023
82 days to go.

Buku Karya Pertama

JTIG : Jadi Trainer itu Gampang

Jadi Trainer Itu Gampang : Panduan Praktis untuk Memulai Menjadi Trainer dan Pemandu Pelatihan di Usia Muda. (LMT Trustco - Jakarta)

Buku Karya Kedua

The Jongos Ways : Pekerja Tangguh yang Bahagia dan Penuh Manfaat itu Anda (Penerbit : Elex Media Komputindo)

Buku Karya Ketiga

Berani Berjuang: Realita Cinta, Pertamina dan Bangsa Indonesia (A tribute to Mr. Ugan Gandar). Elex Media Komputindo

Buku Karya Keempat

Memorable Book Banjir Bandang Kota Bima - NTB tanggal 21 & 23 Desember 2016 (Elex Media Komputindo)

Follow me

Error: Please make sure the Twitter account is public.

Follow me on Twitter

%d bloggers like this: