Mengoptimalkan peran followers dalam pembangunan adalah tantangan tersendiri yang sangat menarik bagi para leaders di zaman yang sudah serbacanggih ini. Hal tersebut dikupas dalam empat episode sharing session daring bertajuk #SimakKamis seri Sustainable City tentang leaders-followers relationship yang diadakan PT Jakarta Propertindo (Jakpro) pada bulan Agustus.
Jakpro menghadirkan Muhsin Budiono, pakar followership Indonesia pertama yang tersertifikasi internasional sebagai narasumber sharing session tersebut. Muhsin yang juga seorang penulis buku dan karyawan millenial di PT Pertamina merupakan trainer followership nasional yang telah memberikan banyak pelatihan dan mengisi seminar followership di berbagai perusahaan nasional, BUMN, BUMD, hingga universitas.
Ia pernah menjadi pemateri di POLRI, PPSDM Migas, Bank Indonesia, BNI, Departemen Perhubungan, dan beberapa lainnya. “Barangkali masih banyak orang Indonesia yang belum mengenal konsep timbal balik serta interdependent antara leadership dan followership. Hal ini bisa dimaklumi karena selama berpuluh-puluh tahun konsep pengembangan SDM kita cenderung leader-centric, bukan partnership centric. Akibatnya segala hal yang berhubungan dengan leadership menjadi over glorified,” ucap pemenang International Followership Trailblazer Award 2019 di Kanada tersebut.
Sharing session yang dihadiri para CEO BUMN, BUMD maupun praktisi HR dari beragam perusahaan itu pada intinya menyampaikan bahwa pembangunan kota berkelanjutan akan lebih cepat berhasil dan terasa menarik bila kebijakan pemimpin kota melibatkan fungsi dan peran para followers yang sarat warna pemikiran, kritik positif, dan ide-ide membangun yang memang diperlukan ekosistem pekotaan. Diperlukan leaders yang egaliter dalam hal ini.
Kolaborasi dalam pembangunan menjadi sangat penting. Tanpa konsep kolaborasi, sulit mengoptimalkan pemikiran dan peran followers.
”Di Jakarta, saya melihat banyak gerakan personal hingga komunitas (kecil dan besar, Red) yang mensupport satu sama lain hingga memunculkan dampak besar di wajah kota. Dan saat ini terasa lebih baik karena Pemprov DKI mengedepankan kolaborasi. Sesuai dengan slogan Jakarta: a city of collaboration,” katanya.
Bukan hanya di Jakarta, banyak contoh para penggerak atau penyokong kebijakan leaders yang dikenal dengan istilah the first followers di berbagai daerah lain di Indonesia. Mereka yang memiliki gagasan dan inisiatif awal suatu gerakan yang ber-impact seringkali dianggap the first followers, padahal bukan. Justru mereka lebih layak disebut leaders atau inisiator.
First followers adalah sosok yang berani bergerak langsung menyokong leaders, mengambil peran dan tanggung jawab dalam mendukung ide/visi masa depan leaders yang pada akhirnya mewarnai wajah perkotaan serta membentuk iklim kolaborasi. Konsep utamanya yaitu ”There is no movement without the first followers,” ujarnya.
DIMULAI DARI PENDIDIKAN
Pengembangan followership di Indonesia seyogyanya diawali dari Bidang Pendidikan. Karena kondisi akses “followership knowledge” di kota-kota besar saat ini dirasa masih sangat minim. Pakar dan trainer followership di Indonesia jumlahnya juga terbatas sekali. Apalagi trainer yg memiliki sertifikat mengajar followership level Internasional. Satu-satunya trainer followership yg berjejaring global dan tersertifikasi Internasional yg dimiliki Indonesia saat ini baru Muhsin Budiono seorang.
Followership harus mulai diperkenalkan sedini mungkin kepada anak-anak kita, kepada mahasiswa, para karyawan maupun para leaders. Dalam hal penyebaran dan sosialisasi followership, Indonesia masih sangat tertinggal. Di USA, konsep followership atau kepengikutan sudah masuk menjadi silabus mata kuliah leadership di universitas-universtas ternama. Di Indonesia, istilah tersebut (Kepengikutan dan Followership) bahkan belum dikenal di KBBI/Kamus Besar Bahasa Indonesia.
”Kalau ditanya harus mulai dari mana, jawaban yang tepat adalah pendidikan. Sejauh ini banyak kendalanya,” kata pakar followership Muhsin Budiono. Dia menyatakan, menyosialisasikan konsep followership hingga orang paham dan menerima dengan lapang bukan perkara mudah. ”Kebanyakan orang masih menganggap leadership adalah ilmu utama dan penentu kesuksesan,” ungkapnya.
Dia berharap followership bisa masuk ke dalam mata pelajaran kepemimpinan di sekolah-sekolah dan universitas-universitas. ”Kalau ada diklat kepemimpinan di SMP, SMA, kampus, BUMD, BUMN, maka followership knowledge seharusnya diperkenalkan juga. Karena leadership dan followership itu konsepnya saling melengkapi. Interdependent,” sambungnya.
Yang terjadi saat ini, menurut dia, umumnya institusi langsung mencekoki para karyawan dengan wacana-wacana kepemimpinan melalui leadership training atau diklat kepemimpinan tanpa sama sekali memperkenalkan konsep followership. Yang ditekankan hanyalah How to be a good leaders and how to lead effectively. Konsep itu sudah terasa seperti racun di zaman ini.
”Karena ketika selesai diklat/on the job training dan pertama kali menjabat, umumnya jabatan yang dipegang bukan level supervisi, managerial atau decision maker (leaders), melainkan jabatan staff biasa, junior officer atau administrator,. Otoritasnya tidal memungkinkan,” katanya.
Biasanya, dalam lima tahun pertama bekerja, perusahaan mendorong karyawan memiliki leadership initiative dan jiwa kepemimpinan yang tinggi. Dan itu semua harus diimplementasikan dipekerjaan sedangkan jabatan yang dipegang saat tidak memungkinkan untuk berbuat as a leaders.
Ini kan kontradiktif dan janggal. Hasil yg didapat justru timpang. Setelah lima tahun bekerja, implementasi leadership tidak didapat dan ilmu followership juga tidak terpegang. Keduanya malah hilang,” ucapnya. (ydh/wir)
Discussion
No comments yet.