Beberapa waktu lalu saya menghadiri online meeting bincang-bincang santai namun meaningful. Judulnya C-level Talk. Acara virtual ini konsisten menghadirkan sosok para eksekutif korporasi swasta maupun non swasta, profit maupun nirlaba untuk sharing knowledge, cerita karir, tips & trick leadership, dll. Dibelakang C-level Talks ada Career Coach René Suhardono. (Suhardono ya, bukan Budiono. 😀). Nama yang tak asing lagi di dunia pengembangan diri dan korporasi. Beliau sendiri juga rutin menjadi host saat sesi berlangsung. Kebetulan waktu itu yang menjadi narasumber adalah Bu Dian Siswarini, President director XL Axiata – a mobile telecommunications services operator company.

Didunia pertelekomunikasian Indonesia nama Bu Dian sudah tersohor. Bagaimana tidak, mengawali karirnya dari teknisi lapangan yang sering manjat-manjat tower BTS hingga diangkat menjadi top CEO sejak 2015 lalu. Bu Dian sukses mengantarkan XL Axiata sebagai salah satu provider berlayanan terbaik di tanah air dengan jangkauan 440 kota/kabupaten di berbagai wilayah Indonesia (2019). Di bawah kepemimpinan Bu Dian, XL Axiata mampu meraup laba bersih senilai 23 triliun rupiah (2018). Angka yang fantastis. Bayangkan kalau duit segitu dibagi-bagi ke 270juta rakyat Indonesia. Tiap kepala bisa dapat sekitar 85ribu perak. Lumayan buat beli N**flix paketan 30 hari. 🙂
Sebab prestasinya tersebut Bu Dian mendapat penghargaan Golden Globe Tigers Award for Women Leadership. Nama Bu Dian juga masuk dalam daftar Forbes Asia’s Power Businesswomen. Daftar tersebut merupakan penghargaan atas pencapaian dan rekam jejak kesuksesannya sebagai pemimpin perempuan yang berperan sebagai representasi keberagaman bisnis di Asia.
Kembali ke acara C-level Talk yang kita bahas diawal. Pada sesi tanya jawab saya pun mengangkat tangan dengan menekan tombol raise hand. Setelah berbasa-basi sejenak mengatakan bahwa saya adalah pelanggan setia XL semenjak tahun 2002 (nomer masih 10 digit), sayapun mengajukan pertanyaan tentang followership.”Bagaimana kriteria followers yang diharapkan Ibu bisa bekerja efektif dengan para leaders, khususnya di perusahaan yang Ibu pimpin sekarang?. Dan apa yang harus dilakukan leaders untuk membentuk followers yang baik atau yang efektif?”.
Dan jawaban Bu Dian benar-benar remarkable. Diluar dugaan saya. Beliau mengharapkan supaya para karyawannya (baca: followersnya) justru berani memberikan feedback kepada para leaders tanpa harus merasa minder ataupun takut. Sekalipun masukan/kritikan itu berbeda dengan pendapat yang dimilikinya.”Berbeda itu harus disyukuri. Sebab bisa memberikan input dan perspektif yang berbeda pula. Sebab dalam mengambil keputusan, input dan perspektif berbeda ini penting bagi leaders. Kalau Anda cuma jadi pekerja yang Yes-man person artinya Anda tidak membantu, bahkan bisa merusak dinamika”, demikian kata Bu Dian menerangkan. Gila, yes-man person saja dilarang. Apalagi penjilat atau brown-noser. Ini baru leaders. Batin saya.
Bu Dian pun lantas melanjutkan penjelasannya. “Sebagai leader, kita harus bisa memberikan clarity di tengah environment yg ambigu. Ambiguitas yang ada secara alami dapat menimbulkan anxiety dikalangan followers. Menjadi Leader harus memiliki kemampuan untuk sintesis dan connecting the dots untuk create insight. Leader perlu memfokuskan tim-nya pada hal-hal yang dalam kendali. Dan diatas semua itu Anda harus mengupayakan untuk membuat emotional connection with your team. By having empathy, and genuinely care for their wellbeing”.
Dan yang disampaikan Bu Dian terakhir itu bukanlah hal mudah: Have an emotional connection. Apalagi kalau jumlah karyawannya bejibun.
Kuncinya adalah jangan sampai seorang leaders dibuat confuse antara tujuan dengan strategi. Caranya bagaimana?. Ya leaders harus understand the context and investing time ke para karyawannya. Pelajari karakter. Rutin lakukan coaching and counseling. Bikin program kreatif yang melibatkan individual maupun team. Bangun emotional connection dan latih empathy level.

Emphaty itu rumus utama leaders. Dengan empati yang baik leaders akan lebih memperhatikan kesejahteraan. Because wellbeing is my priority. Sebab tugas utama pemimpin itu developes people. Kalau ada perbedaan pandangan, beda strategi ataupun konflik dengan followers itu wajar. Jangan malah mengucilkan atau menjauhinya. Tapi justru harus dikenali lebih dalam. Sebagaimana kata Abraham lincoln: I don’t like that man. I must get to know him better. Hmm, keren ya jawaban Bu Dian ini.
Selebihnya untuk mendapat insight lebih lengkap dari diskusi C-level Talk dari Bu Dian bisa Anda simak di channel youtube Limitless di link berikut: https://youtu.be/1knvTM42aXsOh iya, thanks to google photos yang telah mengingatkan saya bahwa ternyata di Oktober 2016 dulu saya pernah “satu panggung” dengan Bu Dian. Tepatnya dalam even HR terbesar di Indonesia: The 8th Indonesia HR Summit – Conference & Exhibition yang digelar di The Trans Luxury Hotel-Bandung. Satu panggung tapi beda waktu. Pantas saja nama Bu Dian ndak begitu asing di telinga ini. Dulu satu panggung, kemarin satu layar online meeting. Besok-besok satu proyek dan satu manajemen. 😃. Who knows?!. (Bersambung)

Discussion
No comments yet.