(3 Minutes reading)

Kendati tergolong pribadi jenius dan memiliki kecerdasan di atas rata-rata kolega sebayanya, Benjamin Franklin tak serta merta jumawa atau merasa lebih pintar. Franklin sadar bila ia pintar, namun ia juga cukup cerdas untuk menyadari bahwa ia tak mungkin benar tentang segala hal. Inilah mengapa dalam setiap membangun argumen atau men-challenge pendapat, Franklin selalu menyampaikan kalimat “pengantar” berbunyi: “I could be wrong, but…”, sebelum mengutarakan gagasan pokoknya.
Bagi mereka yang paham, sebenarnya ini password supaya jangan sungkan-sungkan bila mau mengkritisi pemikirannya. Kalimat singkat “I could be wrong” otomatis menempatkan kawan diskusi maupun lawan bicara pada posisi yang mengizinkan mereka untuk berseberangan pendapat tanpa harus takut berselisih secara personal. Dan dibalik itu semua ada tujuan utama yang ingin Franklin capai, yaitu memaksa dirinya agar open minded. It forced him to be open to changing his own mind. Franklin wanted to learn and grow, and he worked to deflate his own intellectual confidence.
Kita pun lantas bertanya: Apakah Ben (sebutan akrab Benjamin Franklin) sejenius itu sampai-sampai mesti men-deflate kepercayaan intelektualnya sendiri?. Well, kalau mau membuka Wikipedia setidaknya di sana tertulis kalau Ben adalah seorang polymath atau orang dengan banyak jenis pekerjaan dan keahlian.
Ia tercatat sebagai fisikawan, wartawan, ilmuwan, negarawan, penerbit, penulis buku, filantropis, politikus, pelayan masyarakat (pejabat publik), researcher, scientist, diplomat, atlet catur, kartunis, composer, filatelis, aktivis pergerakan, designer, musikus, filsuf, otobiografer, pustakawan, ekonom, editor dan sekaligus penemu. Ya, penemu alias inventor.

Odometer, kacamata bifokal, electrostatic machine, swim fin, street lighting, mechanical long arm, library chair, mapping of the gulf stream, kateter urin fleksibel, penangkal petir, tungku musim dingin, hingga alat musik glass armonica merupakan beberapa temuannya yang terkenal. Kerennya, ia tak pernah mematenkan semua temuan tersebut agar kemanfaatannya bisa dirasa dan dikembangkan banyak orang.
Ben pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Pos pertama di Amerika, pembuat “perpustakaan umum” pertama, dan orang pertama yang mengorganisir barisan pemadam kebakaran kota. Ia juga merupakan pemimpin Revolusi Amerika dan salah satu penandatangan Deklarasi Kemerdekaan Amerika. Sampai disini alasan mengapa harus deflate his own intellectual confidence agaknya memang pantas untuk seorang Ben.
OPEN MINDED AND COGNITIVE FLEXIBILITY SKILL
Dalam konteks korporasi -baik di posisi leader maupun follower-, kita jelas membutuhkan banyak sosok seperti Ben. Pribadi cerdas yang memiliki kemampuan menginspirasi orang lain melakukan hal-hal besar, namun cukup fleksibel untuk berpikir beda, berani mengakui kekurangan dan kesalahan (bila melakukannya), fokus pada solusi, dan sukarela beradaptasi dengan kondisi yang dinamis.

Mengubah metode dan cara berpikir lawas memang sulit, namun di era VUCA dan penuh disrupsi seperti sekarang, skill yang dikenal sebagai “fleksibilitas kognitif” ini penting untuk dimiliki. Kita mungkin lazim menyebutnya sebagai pola pikir “open minded”, namun keahlian fleksibilitas kognitif pada kenyataannya tak sesederhana itu. Karena jamak kita temui mereka yang mengaku berpikiran terbuka ternyata hanya sebatas bersedia mendengar pendapat orang lain saja. Tak siap atas perbedaan opini. Mendengar tanpa aksi tindak lanjut. Alih-alih mendengar malah justru membangun argumen defensif melindungi pendapat pribadi atau pendapat fungsi tempatnya berada. Yang penting fungsinya aman. Yang penting tak dapat tambahan kerjaan.
Inilah mengapa dalam nilai-nilai AKHLAK yang saat ini didengungkan di lingkungan BUMN salah satu nilai yang diusung adalah “Jadi orang tuh yang solutif”. Solutif tak sekedar mendengar. Tapi bila perlu sampai harus duduk “satu meja”. Ikhlas men-deflate keyakinan intelektual personal serta menepis ego sektoral fungsi masing-masing. Kalau sudah satu meja maka yang ada hanya nama dan kepentingan perusahaan. Kepentingan fungsi minggir dulu. Setiap orang harus menaikkan helicopter view-nya ke level yang lebih tinggi. Dan ini jelas butuh diskusi kepala dingin. Bukan debat kusir saling mengagungkan argumen. Disinilah nilai AKHLAK lainnya diperlukan: Ngobrol yuk. Membuka komunikasi, membangun pembicaraan dari hati ke hati.

Mereka yang sering bicara dengan pikiran/kecerdasannya sendiri biasanya tak terbiasa ngobrol atau diskusi santai bareng orang lain. Ada kendala pekerjaan dengan bagian lain, langsung kirim email. Sebentar-sebentar bermemo. Alasannya biar ada evidence. Ini kan kurang asyik. Mestinya ngobrol dulu, baru beremail. Orang yang semasa sekolahnya selalu juara dalam kompetisi debat dan terbiasa menjatuhkan pendapat orang lain akan cenderung sulit menerima perbedaan opini. Pintar, tapi tidak smart. Sebab tak memiliki keahlian fleksibilitas kognitif. Kerdil dalam kecerdasan open minded. Sulit diajak kerjasama memecahkan masalah kolektif yang melibatkan banyak fungsi.
PENGORBANAN DAN CAMPUR TANGAN LEADERS
Di tataran middle management, para tenaga ahli atau pekerja senior yang memiliki keahlian khusus (spesialis) biasanya sering terjebak dalam kondisi minus fleksibilitas kognitif. Entah disebabkan terlalu berpikir teknis dengan acuan standar yang sudah harga mati, atau sebab tekanan lingkungan bisa saja menyebabkan seorang pekerja expert memiliki pikiran jauh dari open minded.
Namun demikian tak semua sikap tertutup dan tak fleksibel merupakan kekurangan personal pekerja. Barangkali pekerja middle management itu sudah berusaha untuk fleksibel namun karena tidak adanya “dukungan” langsung dari atasan maka mereka menjadi menarik diri dan acuh atas permasalahan yang seharusnya bisa dipecahkan bersama.

Mengapa pekerja middle management perlu diperhatikan? Karena most things break in the middle. Seringkali, middle management mengalami stuck diantara strategic thinking and tactical thinking. Tanpa pengalaman memimpin dan tanpa training yang tepat mereka harus menerjemahkan keinginan top management menjadi actionable items sembari mesti membangun komunikasi efektif dengan pekerja teknis dan operator lapangan (low management). Ini bukanlah perkara mudah.
Pekerja yang sudah berupaya untuk open minded dalam memecahkan masalah atau membuat breakthrough hingga harus “menabrak” aturan baku (sepanjang bukan tergolong fraud dan tak melanggar etika bisnis), sudah seyogyanya mendapat dukungan leaders. Para leader harus turut hadir dengan berani “pasang badan” menjadi orang pertama yang menanggung resiko. Ini berlaku juga bagi mereka yang duduk pada posisi C-level. Sebab followers cenderung tidak mengambil “resiko kebaikan bersama” melebihi kapasitasnya bila mereka merasa sang leaders enggan berkorban (sacrifice) untuk keamanan team atau followersnya.
Jadi ketika lingkungan kerja dipenuhi orang-orang yang tidak open minded, jarang ngobrol, sering lempar masalah keatas, dan kurang solutif, maka jangan buru-buru menyimpulkan kesalahan ada pada mereka. Sebab boleh jadi leaders mereka lah yang tak pernah benar-benar peduli menghadirkan rasa aman, sering lepas tangan dan enggan pasang badan atas persoalan pelik atau kendala-kendala operasional yang mereka hadapi.
Ini sejalan dengan tulisan Simon Sinek dalam salah satu buku best sellernya berjudul “Leaders Eat Last” yang menyatakan:
Leaders are the ones who put their own interests aside to protect us or to pull us into the future. Leaders would sooner sacrifice what is theirs to save what is ours. And they would never sacrifice what is ours to save what is theirs. This is what it means to be a leader. It means they choose to go first into danger, headfirst toward the unknown. And when we feel sure they will keep us safe, we will march behind them and work tirelessly to see their visions come to life and proudly call ourselves their followers.
Muhsin Budiono
Trainer & Followership Specialist
Discussion
No comments yet.