Ayolah, jangan menjadi laki-laki bermental tempe yang hancur hatinya hanya karena seorang wanita. Masa depan masih panjang untuk dilalui, Bung. Bagi seorang mahasiswa mencintai seorang mahasiswi itu berarti sama dengan mematikan pergerakan kemahasiswaannya. Ketika kamu memutuskan memberikan perhatian kepada seseorang yang kamu anggap spesial itu berarti kamu menutup peluang lain yang jauh lebih spesial datang menghampiri dirimu. Ada banyak hal diluar sana untuk diperhatikan. Kasih dan sayangmu tidak khusus hanya untuk satu orang wanita. Rekan-rekanmu, adik-adik kelasmu, orangtuamu, guru-gurumu, anak yatim dan mereka yang diluarsana juga butuh kasih sayang yang sama dengan yang diberikan pada kekasih wanitamu. Lagipula apa tujuan utamamu menjadi mahasiswa?. Mengasah kedewasaan tidak butuh melalui pacaran atau hubungan khusus seperti tunangan, dan sejenisnya. Agama kita tidak mengajarkan hal seperti itu. Kalau kamu berani langsung saja lamar dia dan nikahi. Masalahnya modal kamu sekarang apa? Cuma wajah tampan setengah culun tidak akan berhasil mencuri kepercayaan dari orangtuanya.
Saat terlahir ke dunia, kita lahir hanya dengan satu pikiran yaitu pikiran bawah sadar. Bekal lainnya adalah otak yang berfungsi sebagai hard disk yang merekam semua hal yang kita alami. Secara lazim ini disebut pikiran sadar. Sejak lahir, dan sejalan dengan proses tumbuh kembang, kita mengalami pemrograman pikiran terus menerus, melalui interaksi kita dengan dunia di luar dan di dalam diri kita.
Pada anak kecil, yang memprogram pikirannya adalah terutama kedua orangtuanya, pengasuh, keluarga, lingkungan, guru, TV, dan siapa saja yang dekat dengan dirinya. Saat masih kecil pemrograman terjadi dengan sangat mudah karena pikiran anak belum bisa menolak informasi yang ia terima. Ketidakmampuan memfilter informasi ini disebabkan karena pada saat itu critical factor, atau faktor kritis, dari pikiran sadar belum terbentuk. Kalaupun sudah terbentuk critical factor masih lemah.
Kawan-kawan semua, saya ingin berbagi cerita nih.
Malam itu, selepas memberikan materi “Studium Generale” bagi adik-adik mahasiswa di wilayah Nginden-Surabaya, seorang mahasiwa (bukan mahasiswi) yang cukup good looking (Tinggi, tidak kurus ataupun gemuk, rambut oke, pakaian rapi, kulit putih, gigi rata, senyum mantap. Yah ciri lainnya kurang lebih mirip-mirip saya begitu) menghampiri dan menjabat tangan saya. Ia menanyakan judul buku yang isinya sempat saya bahas panjang lebar dalam studium generale barusan. Setelah memberikan judul buku berikut nama penulisnya kamipun berkenalan dan bertukar handphone . . eh bertukar nomer handphone. Ia mengaku sebagai mahasiswa di salah satu kampus negeri ‘XXXX’ di Surabaya. Sebut saja nama mahasiswa ini “Melati”. Halah, kok Melati sih Mas?. Kayak inisial korban pelecehan seksual di koran-koran kriminal. Baiklah, saya revisi. Sebut saja namanya “FD”. Sungguh momen menyenangkan dan menjadi penghargaan tersendiri bagi saya bisa menyapa dan menjabat tangan mas FD dikesempatan yang singkat itu.
You must be logged in to post a comment.