Kawan-kawan semua,
Ini nasihat yang saya berikan pada sebuah seminar motivasi penutup akhir tahun di Surabaya. Isinya tentang perbedaan antara manusia daya dan manusia data. Artikel ini lebih condong saya tujukan pada rekan-rekan saya yang berprofesi sebagai pendidik. Semoga bisa menghantarkan anak didiknya mendapatkan pengalaman belajar yang menyenangkan, meski sistem pendidikan kita saat ini cenderung memproduksi manusia data. Semoga manfaat.
Jangan selalu menjadi manusia data, namun jadilah manusia daya. Sejarah mencatat bahwa ilmuwan besar Einsten pernah ditanya : ada berapa kaki (sekitar 30 cm) dalam satu mil. Einsten lalu menjawab, ”Saya tidak tahu. Mengapa saya harus mengisi otak saya dengan fakta (data) yang dapat saya temukan dalam waktu dua menit di dalam buku acuan standar?”.
Dari sini, Einsten mengajarkan kita suatu pelajaran berharga. Ia merasa bahwa lebih penting menggunakan otak kita untuk berpikir dan menggagas sesuatu daripada menggunakannya sebagai gudang fakta (data). Sayangnya dalam sistem pendidikan kita saat ini, para pelajar dan mahasiswa cenderung dituntut menggunakan otaknya mayoritas untuk menghapal dan mengetahui data-data yang ada (yang sebenarnya tidaklah penting).
Kemampuan berpikir untuk memahami dan mengembangkan sesuatu seakan-akan dikerdilkan. Keterampilan menggagas dan melahirkan solusi menjadi terkebiri hingga terbukti bahwa saat ini perguruan tinggi kita menjadi mandul (krisis) akan ide-ide besar (terutama dalam bidang teknologi tepat guna) yang secara solutif seharusnya mampu mensejahterakan rakyat. Wacana lain mengisahkan bahwa suatu ketika Henry Ford penah bertikai dengan Chicago Tribune. Tribune mencemarkan nama Ford dengan menyebutnya Ford Ignoramus (orang yang tidak tahu apa-apa), dan Ford lalu berkata, ”Buktikan.”
Tribune mengajukan beberapa pertanyaan sepele seperti : ”Kapan Perang Revolusioner pecah?”, ”Siapa Benedict Arnold?”, dan pertanyaan lain yang mayoritas tidak dapat dijawab oleh Ford yang kurang mendapat pendidikan formal. Akhirnya ia sangat jengkel dan mengatakan, ”Saya tidak tahu jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan itu, tetapi dalam waktu lima menit saya bisa mendapatkan orang yang mampu menjawabnya.”
Henry Ford tidak begitu tertarik untuk memenuhi pikirannya dengan informasi. Ia yakin dan tahu bahwa kemampuan untuk mengetahui cara mendapatkan informasi lebih penting daripada menggunakan pikiran sebagai garasi untuk fakta (data).
Berapakah harga seorang manusia data?
Ini terjadi dalam ruang tamu rumah saya -ketika saya serius berkutat di depan laptop untuk mengerjakan finishing buku saya yang pertama- saya mendapati kakak saya tengah asyik didepan monitor PC mencoba aplikasi program Trivia machine. Ini semacam program games ketangkasan seperti kuis “Who wants to be a millionaire” yang memberikan banyak pertanyaan seputar pengetahuan dan wawasan dari seluruh dunia. Bila menjawab pertanyaan dengan benar kita akan mendapat score dan berhak melaju ke level berikutnya (Tiap level terdiri dari beberapa pertanyaan). Sesekali waktu bila Kakak saya kesulitan menjawab, ia lantas bertanya pada saya dan mencoba mengajak bermain. Pada awalnya saya tidak begitu mempedulikan sebab khawatir konsentrasi saya akan menulis buku bakal buyar. Tapi setelah beberapa pertanyaan saya menjadi jengkel dan sedikit bersungut (mungkin mirip seorang gadis yang tengah datang bulan). Akhirnya saya memutuskan “hijrah” ke dalam kamar tidur untuk melanjutkan mengetik disana. Sejenak kemudian saya merenung seandainya ada orang mampu menjawab semua pertanyaan yang ada dalam program tersebut tentunya ia adalah orang yang pintar dan dicari banyak orang.
Esok harinya rekan kerja di kantor menjawab renungan saya tersebut dengan mengatakan kalau orang penghapal data seperti diatas sangat tidak bernilai di kantor ini atau dikantor manapun.
”Ah, yang benar, Pak?”, kata saya sangsi. Sejenak kemudian ia menjelaskan bahwa jika orang tersebut bekerja disini, maka perusahaan ini akan membayarnya tidak lebih dari 1 juta rupiah. ”Heh, cuma 1 juta rupiah per bulan.”, batin saya protes, saya harap ia salah ucap.
”Bukan, bukan per bulan. Juga bukan perminggu. Tapi untuk seumur hidupnya !”, balas rekan saya ini. Saya makin terperanjat. Untungnya ia cepat menjelaskan bahwa ’si Ahli Data’ itu hanya mampu menghapal dan cerdas dalam hal memori belaka. Ia sulit untuk berpikir solutif. Ia hanya ensiklopedi berjalan. Dan untuk membeli 1 set ensiklopedi yang bagus dibutuhkan tidak lebih dari 1 juta rupiah. Apalagi kalau memanfaatkan ensiklopedi online yang bisa didownload gratis tanpa biaya sepeserpun dari internet. Bisa-bisa ‘si Ahli data’ tersebut harganya bisa menjadi nol rupiah.
Kemudian rekan saya ini berkoar, “Yang diinginkan sekeliling kita ini –termasuk keinginan perusahaan ini-, adalah orang yang mampu memecahkan masalah. Memikirkan gagasan dan memberi solusi konkret. Kita memerlukan orang yang mampu bermimpi dan mengembangkan mimpi tersebut menjadi berdaya dalam aplikasi praktis di dunia nyata. Kita membutuhkan ”manusia daya”. Manusia daya dapat efektif menghasilkan karya dan materi (profit), manusia data tidak.
Tetap istiqomah,
muhsin budiono
Discussion
No comments yet.