Road to 2023
Pendidikan Kita

Prestasi Belajar


SEBELUM kita disibukkan oleh gelombang tahunan Ujian Nasional 2014, membaca laporan The Learning Curve 2013 yang terbaru tentu menyesakkan dada banyak pemerhati pendidikan. Lagi-lagi kita berada di papan paling bawah, dan Finlandia di papan paling atas. Sigi ini mengukur capaian belajar anak-anak lulusan setara SMP.

Tulisan pendek ini mencoba mengupas apa yang dimaksud dengan prestasi belajar anak terutama di jenjang pendidikan dasar sembilan tahun, dan bagaimana peran orangtua dan sekolah dalam membantu anak mencapai prestasi tersebut.

Secara formal, prestasi anak akan diukur berdasarkan hasilan belajar (learning outcomes) yang diharapkan dalam dokumen kurikulum di jenjang formal anak. Jika anak mampu menunjukkan hasilan belajar yang diharapkan di akhir proses belajarnya di jenjang itu, anak tersebut kemudian dikatakan berprestasi.

Pertanyannya kemudian adalah apakah hasilan belajar yang penting untuk jenjang pendidikan dasar?

Apakah The Learning Curve memberi pelajaran penting? Apakah anak-anak belajar sesuatu yang berharga di sekolah? Jangan-jangan mereka hanya diarahkan untuk memuaskan ego guru dan orangtua serta demi statistik birokrat pendidikan, tetapi tidak belajar apa pun yang benar-benar berharga?

Jangan kaku

Saya berkeyakinan, sebenarnya anak-anak normal, apalagi cerdas, tidak membutuhkan kurikulum kaku yang dirancang dengan hati-hati. Saya tidak ingin mengatakan bahwa kurikulum agak menghina kecerdasan banyak anak kita, tetapi manusia memang terlalu cerdas untuk diremehkan oleh kurikulum.

Eksperimen Sugata Mitra di India dan Inggris belum lama ini membuktikan bahwa anak-anak bisa belajar secara efektif dalam sebuah self-organized learning environment yang informal, tanpa kurikulum dan guru sekalipun!

Terlalu sibuk mendefinisikan hasilan belajar beserta semua proses dan evaluasinya dalam sebuah kurikulum seringkali justru mempersempit hasilan belajar yang bisa dicapai oleh seorang anak.

Inilah yang terjadi dengan semua hiruk-pikuk Kurikulum 2013. Bahkan di abad internet ini sekolah semakin tidak dibutuhkan, apalagi kurikulum!

Jika prestasi dikaitkan dengan hasilan belajar, maka prestasi setidaknya dirumuskan sendiri oleh anak, bukan oleh guru, apalagi oleh birokrat! Ini jika kita serius dengan student centered learning. Paling tidak, rumusannya didialogkan dengan anak.

Betapa sekolah melalui kurikulumnya bisa memiskinkan makna belajar dapat dilihat dari bagaimana pengertian prestasi saat ini seringkali dipersempit secara tidak perlu, terutama di jenjang pendidikan dasar, sehingga justru berpotensi tidak mendidik anak.

Memperoleh nilai rapor yang tinggi dan mengumpulkan berbagai trofi lomba seringkali dipakai sebagai ukuran prestasi. Semakin tinggi nilai Matematika dan sains dinilai sebagai prestasi hebat.

Prestasi di bidang seni dan olahraga kurang diapresiasi. Semakin banyak trofi dan sertifikat, dinilai lebih berprestasi. Anak dijadikan alat perpanjangan ego guru dan orangtua. Kelas-kelas akselerasi dijadikan pertanda keunggulan.

Ukuran prestasi

Ukuran-ukuran prestasi itu seringkali juga bersifat individual. Karya kelompok kurang dihargai. Apa yang dilakukan anak bagi tetangganya di sekitar rumah tidak dinilai penting dalam portofolio anak.

Pramuka dan kegiatan di luar sekolah mati sepi peminat. Yang ramai justru lembaga bimbingan ”belajar”, padahal sesungguhnya cuma tempat menghafal siasat-siasat jitu untuk menghadapi tes-tes pilihan berganda.

Seorang kawan seniman mengusulkan bahwa lulusan pendidikan dasar paling tidak telah memiliki konsep diri yang jelas (learning how to be), serta mencapai kemandirian belajar. Tahu bagaimana caranya belajar (learning how to learn). Saya sependapat. Belajar menjadi kebiasaan hidup sehari-hari yang menyenangkan. Belajar tidak dikaitkan dengan ujian apa pun, tetapi sebuah sikap sehari-hari. Membaca, menulis, praktik, dan berbicara menjadi keterampilan yang sudah dikuasai.

Sekolah-sekolah di Indonesia saat ini disibukkan dengan banyak hal kecuali belajar. Anak-anak pulang hingga sore, disibukkan dengan try-outs bertubi-tubi, tetapi tidak membaca koran dan buku-buku. Apalagi menulis! Tidak ada waktu untuk itu.

Budaya membaca dan menulis tidak berkembang. Budaya bicara pun tidak. Sementara itu praktik dan pengalaman sehari-hari di luar sekolah tidak dihargai. Padahal pengalaman itu bagian penting dari belajar.

Peran orangtua di rumah akan semakin penting di abad ke-21. Sekolah hanya warung dekat rumah yang menyediakan makan siang. Sarapan dan makan malam tetap di rumah.

Peran orangtua adalah mengembangkan konsep diri anak yang unik, serta menyediakan lingkungan yang mendorong kegemaran membaca, menulis, dan berbicara bebas, serta menghargai pengalaman yang diperoleh di luar sekolah. Itulah prestasi yang patut dipikirkan oleh kita. ***

Daniel M. Rosyid adalah guru besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, dan juga penasehat Dewan Pendidikan Jawa Timur.

About muhsin budiono

Karyawan, Followership Practitioner dan Penulis Buku. Mengenyam pendidikan di Institut Teknologi Sepuluh Nopember jurusan Marine Engineering (Lulus tahun 2006) dan Narotama University studi Management (Lulus tahun 2014). Followership Practitioner pertama di Indonesia [Certified by Ira Chaleff, Belgium-2017]. Anggota ILA (International Leadership Association). Pemegang Rekor MURI (Museum Rekor Dunia-Indonesia). Disaat banyak orang Indonesia memuji dan mendalami Leadership, muhsin memilih jatuh hati pada Followership sejak 2007 yang lalu. Di tahun 2013 muhsin menulis buku tentang belajar Followership ala Indonesia berjudul "The Jongos Ways" (TJW) yang fenomenal dan menggugah ribuan pekerja di Indonesia. Berbekal buku TJW muhsin semakin getol membumikan Followership ke seluruh penjuru nusantara secara cuma-cuma/tanpa memungut biaya melalui kegiatan-kegiatan seminar, bedah buku, pembuatan video animasi hingga konsultasi gratis. Hal itu dilakukan sebab menurutnya Indonesia sudah “terlambat” lebih dari 23 tahun dalam mengembangkan Followership. Atas upayanya tersebut pada akhir tahun 2014 muhsin mendapat undangan dari International Leadership Association untuk menghadiri International Followership Symposium di Amerika sebagai satu-satunya wakil dari Indonesia. Disana ia intens berdiskusi dengan beberapa pakar followership dunia dan dinisbatkan sebagai pemerhati followership pertama dari Indonesia. Di tahun 2016 Muhsin juga mendapat kehormatan untuk berbicara tentang Followership dihadapan ratusan praktisi Human Resources di Indonesia dalam forum nasional the 8th Indonesia Human Resources Summit (IHRS). Sementara ini muhsin berkarya di Perusahaan Migas Nasional kebanggaan Indonesia: PT Pertamina (Persero) dan sedang mengumpulkan serta menyusun kerikil demi kerikil untuk dijadikan batu lompatan dalam meraih cita-cita sebagai International Islamic Followership Trainer di tahun 2023 mendatang. Muhsin juga memiliki keinginan kuat untuk resign bekerja agar bisa kuliah/belajar lagi di Saudi Arabia guna mendalami teori Islamic Followership yang sedang dikembangkannya.

Discussion

No comments yet.

Your Comment Please . . .

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Road to International Islamic Followership Trainer

18 June 2023
8 days to go.

Buku Karya Pertama

JTIG : Jadi Trainer itu Gampang

Jadi Trainer Itu Gampang : Panduan Praktis untuk Memulai Menjadi Trainer dan Pemandu Pelatihan di Usia Muda. (LMT Trustco - Jakarta)

Buku Karya Kedua

The Jongos Ways : Pekerja Tangguh yang Bahagia dan Penuh Manfaat itu Anda (Penerbit : Elex Media Komputindo)

Buku Karya Ketiga

Berani Berjuang: Realita Cinta, Pertamina dan Bangsa Indonesia (A tribute to Mr. Ugan Gandar). Elex Media Komputindo

Buku Karya Keempat

Memorable Book Banjir Bandang Kota Bima - NTB tanggal 21 & 23 Desember 2016 (Elex Media Komputindo)

Follow me on Twitter

%d bloggers like this: