“Sukses memiliki satu formula sederhana : Kerjakan dengan sebaik-baiknya, dan orang lain mungkin menyukainya. (Sam Ewing)”
Bayangkan Anda sedang mengikuti lomba lari tingkat nasional atau barangkali lomba makan krupuk tingkat RT dilingkungan Anda tinggal. Dalam lomba tersebut tekad yang muncul adalah bagaimana bisa lebih cepat mencapai garis finish atau lebih rakus melahap sebuah krupuk berlumur kecap dibanding dengan peserta lain yang mengikuti perlombaan. Dalam perlombaan, semangat yang ada adalah bagaimana Anda bisa lebih cepat, lebih lahap, lebih tepat, lebih teliti, dsb. Sebut saja lomba lari, lomba renang, lomba balap sepeda, lomba panjat dinding, lomba memancing, dsb. Jadi untuk suatu perlombaan kata kuncinya adalah : Pencapaian prestasi tertinggi, tercepat dan terbaik.
Sekarang bayangkan sebuah pertandingan tinju atau pertandingan sepak bola. Kalau sepak bola saya yakin sebagian besar dari kita pernah terlibat langsung. Entah sebagai pemain, komentator amatir, suporter atau sekedar menjadi penonton pasif didepan televisi. Kalau pertandingan tinju? Biasanya cuma jadi penonton. Dalam sebuah pertandingan semangat yang diusung adalah bagaimana menjadi pemenang dan bagaimana mengalahkan lawan. Nuansa “kalah-menang” sangat kental dalam sebuah pertandingan. Di perlombaan lari yang ada hanyalah pelari tercepat (bukan pelari satu mengalahkan pelari lainnya), namun dipertandingan tinju tidaklah demikian.
Bertanding dan berlomba memiliki esensi makna yang berbeda. Celakanya dalam dunia bisnis, pekerjaan dan manajemen karir semangat bertanding seringkali terasa lebih dominan. Menapak tangga karir diibaratkan sebuah arena yang mengharuskan untuk menang dengan jalan mengalahkan. Karyawan satu berkeinginan mengalahkan karyawan yang lain. Jongos yang berpandangan picik dengan mengusung nuansa kalah-menang pada akhirnya pasti memiliki mental menghalalkan segala cara untuk melejitkan karirnya atau sekedar ‘mengamankan’ posisinya. Sikut teman sendiri, menginjak kepala orang, memfitnah, sabotase, menjilat dan perbuatan ‘kotor’ lainnya adalah hal yang halal baginya.
Sebagian besar dari kita biasanya sulit untuk menetralkan dirinya dari nuansa negatif ‘kalah-menang’ diatas. Hal ini bisa dimaklumi sebab para pengajar pendidikan formal dinegara kita tanpa sadar selama puluhan tahun memiliki visi & misi yang salah dalam mendidik. Memang model pendidikan sekarang banyak terdapat perubahan, namun mental mendidik yang keliru biasanya tetap digenggam erat oleh mayoritas sekolah dan pendidik di Indonesia ini. Guru-guru kita (bahkan juga orang tua kita dirumah) seringkali berpesan dan menyuruh kita untuk menjadi pribadi yang terbaik dan juara. Perkataan seperti : “Jangan mau kalah sama temanmu si Fulan itu”, atau “Masak kamu kalah sama anaknya orang miskin itu” adalah contoh kalimat yang acapkali terngiang ditelinga sewaktu kita masih kecil. Nuansa kalah-menang kental terasa disini. Sekolah dan institusi pendidikan juga tak kalah congkak berkoar tentang visi : menciptakan bibit unggul yang berprestasi dan berkarakter. Anda lihat, kalimat visi semacam ini adalah kalimat yang datar dan ngambang maknanya.
Kalau Anda diberi 50 buah biji semangka jenis unggul dan diminta untuk menanam plus merawat bibit semangka unggul tersebut hingga tumbuh subur dan berbuah, apakah Anda dapat memastikan kalau tiga bulan kedepan semua biji yang ada dapat tumbuh dengan baik?. Ayolah, harus kita akui, tidak semua anak yang Anda didik bisa menjadi bibit unggul dan Anda tidak mungkin membuang/menelantarkan anak yang bukan termasuk unggul tersebut. Hei, Anda bisa membuangnya kalau memang tega dan menganggapnya seperti biji semangka yang gagal berkembang. Ini adalah keniscayaan. Setiap anak merupakan pribadi yang unik dengan potensi dan cara berkembang yang unik pula. Sekolah dan para pendidik seharusnya memperhatikan hal ini dan tidak lantas memberi label ‘anak bodoh’ atau ‘anak kurang cerdas’ pada siswanya yang lambat menangkap pelajaran. Memang mendidik yang baik dan benar itu pahalanya sangat besar di dunia dan akhirat. Karenanya hal itu tergolong tugas yang sangat berat sebab harus perhatian terhadap detail perkembangan siswa.
Maaf kalau penjelasan ini cukup panjang, saya hanya ingin menggambarkan betapa seringnya informasi dan perlakuan miring yang hadir membuat kita merasa bahwa hidup, sekolah dan bekerja pada akhirnya ditempatkan pada dua titik ekstrim yang berhadapan secara diametral : kalah dan menang. Hidup ibarat sebuah kondisi darurat yang mengharuskan kita untuk mengalahkan orang lain agar bisa menjalaninya dengan baik. Nyatanya tidak seperti itu. Untuk bisa sukses ataupun survive Anda tidak harus mengalahkan/menjatuhkan orang lain. Hidup ini merupakan sinergisme positif dengan orang lain disekitar Anda. Nuansa kalah-menang membuat proses aktualisasi diri yang mulia sebagai human being menjadi terlecehkan. Kalau kita memenuhi pikiran dengan semangat bertanding maka perilaku reaktif yang akan muncul selalu bernuansa “Saya akan menjadi kalah atau menang” (I am going to loose or win). Bukankah akan lebih enjoy kalau yang kita usung adalah semangat berlomba? Dalam semangat berlomba tidak ada istilah : I am going to loose or win. Yang ada hanyalah : I am going to have the best shot this turn. Saya akan memberikan usaha maksimal yang terbaik disetiap kesempatan yang ada. Jadi jalan yang ditempuh adalah dengan memurnikan semangat bekerja dan melakukan yang terbaik, bukan dengan menyikut atau mengalahkan sesama rekan kerja. Sebab kalah-menang itu bukanlah hal yang ‘esensial’. Kalah-menang hanyalah hal ‘sensasional’ belaka. Yang esensial adalah bagaimana kita melakukan yang terbaik dan mengerahkan segala kemampuan, bakat, ide, pikiran dan potensi lainnya.
Oh iya, kalau Anda seorang muslim maka menerapkan semangat berlomba ini hukumnya wajib sebab seringkali didengung-dengungkan oleh para Nabi dan alim ulama. Bahkan seruan untuk berlomba dalam kebaikan dan memperoleh nikmat surgawi termaktub jelas dalam kitab suci seorang muslim.
“, dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba”. (Al Muthaffifin [83] : 26)
“Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS. Al Ma’idah [5] : 48)
Jadi tunggu apalagi, tidak perlu pikir panjang. Terapkan semangat berlomba mulai sekarang. Barangkali memang tidak mudah, tapi Anda harus memulainya. Selamat berlomba dengan semangat!
muhsin-budiono
Discussion
No comments yet.