Road to 2023
Followership

UNTUKMU YANG TERISOLASI DI PLTU BARRU


Sudah seminggu lebih mereka melakukan isolasi mandiri. Bukan #stayathome dirumah bersama keluarga, tapi justru ditempat kerja. Lebih tepatnya di PLTU. Ya PLTU yang itu, Pembangkit Listrik Tenaga Uap. Lokasinya di PLTU Barru, Sulawesi Selatan. Apakah sebelumnya saya pernah berjumpa dengan mereka?. Belum. Tapi saya pernah berinteraksi dengan “versi lain” dari mereka yang ada di PLTGU Priok di Jakarta. Mereka yang saya maksud disini ialah para pekerja PT Indonesia Power di PLTU Barru.

Akhir Januari kemarin saya diundang sebagai narasumber salah satu program pembelajaran mereka. Sesi saya yang semula dijadwalkan mulai pukul 16.30 dan berakhir pukul 18.00 harus diperpanjang sebab request pekerja yang antusias akan materi followership. Melihat curiousity membuncah itu saya pun meladeninya. I’m yours, jawab saya.

Walhasil acara molor sampai jam 9 malam. Makin malam makin seru. General Manager (GM) dan jajarannya terlibat aktif dan mingle duduk ngeleset di karpet bersama puluhan pekerja staff serta operator harian yang 90% lebih adalah Millenials. Mereka ini orang-orang yang luarbiasa. Haus ilmu, haus kerja.
“GM-nya juga gila”, kata saya dalam hati. Kok bisa “menyihir” followers dibawahnya yang mayoritas orang lapangan selepas kerja harian mau ikutan dan betah berjam-jam didalam ruangan?.
Apalagi acara berlangsung dengan suasana cair. Guyub dan cozy. Macam tak ada sekat antara pekerja biasa dengan top management. Nah, dari pengalaman itu saya berani berasumsi setidaknya yang di PLTu Barru ndak jauh beda dengan yang di Jakarta.

Buat Anda yang saat ini sedang melakukan karantina diri (Stay at home, isolasi mandiri, lock down, atau apapun istilahnya) tetaplah tersenyum dan semangat menjalani hari. Sebab sejatinya ada banyak hikmah yang bisa kita petik bersama dari karantina diri serta menghadapi pandemi ini, diantaranya :

1. Karantina diri itu ikhtiar untuk tidak tertuar maupun menularkaan wabah.
Artinya ada upaya penjagaan atas keselamatan diri sendiri dan orang lain. Ini merupakan kebaikan yang semoga mendatangkan pahala besar daan berlipat.
Saya yakin Anda rindu bertemu keluarga, kangen bekerja dan beribadah normal seperti dulu. Tapi ada hal lain yang harus diutamakan, yakni tidak berbuat sesuatu yang membahayakan orang lain. Maka dari itu berbahagialah. Tak semua orang mendapat privilege seperti Anda. Ingatlah bahwa orang-orang saleh sekelas Nabi pada jaman dulu pernah juga mengalami pengisolasian dalam versi berbeda.
Nabi Yunus pernah “dikarantina” dalam perut ikan paus, Nabi Yusuf pernah terisolasi dalam sumur serta penjara, dan bahkan Nabi Muhammad ﷺ beserta keluarganya (Bani hasyim dan bani muthalib) pernah di-lockdown total di Syi’ib Abu Thalib selama 3 tahun.

Maka bersyukurlah bahwa kesulitan yang kita alami sekarang tidaklah sesulit yang dialami oleh orang-orang saleh terdahulu.

2. Kita tidak sedang berperang.
Ada baiknya hilangkan mindset kalau Anda sedang berperang atau melawan Covid19. Yang Anda lakukan adalah menjaga diri sekaligus melindungi kehidupan, bukan berperang.
Menggunakan terminologi “melawan” atau “berperang” justru akan menguras energi spiritual, menciptakan ketakutan dan membuat hati terasa sempit. Sebab perang seringkali mendatangkan ketakutan dan kerugian.
Dan bukankah doa/dzikir pagi-petang yang rutin Anda baca mayoritas isinya seputar penjagaan/perlindungan diri, bukan permohonan memenangkan peperangan?.

Disamping itu virus yang kita hadapi ini juga makhluk Tuhan yang boleh jadi kehadirannya membawa suatu misi tertentu. Bukankah semenjak Corona merebak ada banyak cerita positif mengenai bumi yang tiba-tiba “istirahat” (jadi lebih hijau tak banyak polusi), merebaknya aksi2 sosial, munculnya solidaritas, pola hidup sehat, kedekatan keluarga, dan lain sebagainya?. Ini semua sungguh layak untuk direnungkan.

3. Karantina diri menyingkap tabir keangkuhan.
Ketika menjalani isolasi mandiri wujud kantor sontak berubah menjadi virtual office. Istilah WFH jadi populer. Perjalanan rutin dari rumah ke kantor tetiba sirna.
Dulu yang biasa naik-turun mobil dinas mentereng, pintu dibukakan sopir, tas kerja dibawakan driver, sekarang tak ada lagi yang melayani.
Dulu dikantor dipuji dan ditakuti anak buah, sekarang hanya berjumpa suara lewat vicon.

Pekerja staff yang biasanya hobi nyurah-nyuruh cleaning service untuk beli sarapan, jajanan dan makan siang pas jam kerja aktif, sekarang tak bisa lagi. Tiba-tiba kehilangan power dan otoritas. Tak ada yang disuruh, tak ada yang diperintah. Bos kecil itu tak lagi jadi bos.
Maka inilah saat yang tepat untuk bertanya ke hati nurani. Sesungguhnya selama ini pergi ngantor untuk apa?. Selama ini berangkat pagi pulang sore dalam rangka apa?. Terlihat gagah pakai wearpack dan seragam dinas demi apa?. Sibuk berkutat diruang kerja untuk siapa?.
Kesendirian dalam karantina mengajarkan kita bahwa hidup ini tak bisa dilakoni sendiri dan betapa pentingnya menghargai orang lain dengan baik.

4. Ada penyakit yang lebih mengerikan dari Corona.
Penyakit itu ada dua macam: penyakit badan dan penyakit hati. Penyakit badan rasa sakit dan kerugiannya paling banter kita rasakan di dunia saja. Sedangkan penyakit hati sakit dan kerugiannya bisa di dunia dan akhirat sekaligus. Jelas lebih parah ketimbang penyakit badan.

Bukankah di dalam tubuh ada segumpal daging yang jika ia baik, maka seluruh tubuh akan ikut baik. Tapi bila ia rusak, maka seluruh tubuh akan ikut rusak. Dan segumpal daging itu adalah hati. Penyakit hati itu jenisnya beragam. Ada kesyirikan, iri, dengki, hasad, munafik, lalai (al ghaflah), menuruti hawa nafsu, melampaui batas (At-Tarof), dan sebagainya.
Singkat kata, krisis pandemi ini adalah momen yang pas untuk membersihkan hati dan mengevaluasi diri.

5. Terbukanya nilai diri yang sejati.
Bila kita ingin mengetahui kualitas pribadi seseorang, maka lihatlah aktifitas apa yang dilakukannya ketika sedang sendirian. Ini tentang hubungan antara nilai diri dan kesendirian.
Saya kenal seorang karyawan millenial yang tahun lalu sudah separuh jalan menulis buku novel untuk dipublikasikan. Beberapa kali pernah saya tanya kapan naskahnya rampung?. Namun jawaban yang meluncur dari mulutnya selalu sama: Belum selesai karena sibuk kerja atau sebab tempat kerja yang jauh (waktu habis dijalan buat perjalanan PP dari rumah ke kantor). Sebenarnya semua itu excuse yang dibuat-buat. Karena ketika sekarang ia hampir 3 minggu menjalani WFH (dengan waktu luang jadi lebih banyak), pada kenyataannya novel tersebut tak kunjung selesai dan tak ada progress-nya.

Ini karena waktu luangnya habis hanya sekedar untuk stalking di medsos, nonton film series, dengerin musik, kecanduan game online, hanyut dalam YouTube, dan sebagainya. Kesendirian dalam isolasi mandiri harusnya membuat kita lebih pandai menghargai waktu luang dan menyadari target capaian pribadi yang harus diselesaikan.

MULAILAH MEMIKIRKAN LEGACY

Krisis sebab pandemi cenderung mengingatkan kita akan kematian. Setiap orang pasti bakal mati. Bila bukan dengan Covid19, maka bisa dengan sebab yang lain. Bila hari ini masih selamat dari datangnya maut, bisa jadi esok atau lusa sebab maut yang lain kan tiba. Ini bukan ajakan untuk pesimis atau meratap sedih menunggu tibanya kematian, namun Covid19 datang untuk mengajarkan bahwa kematian bisa hadir menjemput begitu cepat dan agar kita senantiasa bersiap-siap selalu dalam menyambutnya.

Ada yang bilang pandemi corona ini adalah ujian sekaligus musibah. Ada pula yang berspekulasi tentang teori konspirasi tingkat tinggi. Saya tak ingin berdebat akan asal muasal Covid19 dan kesulitan demi kesulitan yang sekarang masyarakat jalani. Sebab yang paling penting bukan musibahnya, tapi bagaimana respon kita terhadap musibah itu.

Hidup ini singkat, Kawan. Sudahkah kita meninggalkan warisan untuk keluarga dan lingkungan?. Warisan untuk Perusahaan?. Yang saya maksud bukan warisan materi atau harta, namun lebih kearah legacy. Peninggalan berharga. Seperti apa Anda ingin dikenang oleh kolega dan rekan-rekan Anda sepuluh atau dua puluh tahun mendatang.

Untuk bisa meninggalkan legacy saya mengajak Anda semua untuk melakukan apa yg saya sebutdengan lompatan kurva (Jump the curve). Melompat dari kurva rutin yang seringkali menjebak kita pada kondisi stagnan berpuas diri dengan hasil yang sudah pernah dicapai sebelumnya.

Lompatan kurva ini saya pelajari dari Guy Kawasaki dan agar lebih mudah menerangkannya akan saya jabarkan dengan contoh.
Salah satu contoh lompatan kurva yang saya lakukan adalah melalui aktifitas menulis buku. Pada kurun 2007-2009 saya menulis dan menerbitkan buku untuk diri sendiri. Ada 2 buku yang selesai ditulis dan diterbitkan penerbit Elex Media.

Ditahun 2010 saya mulai melakukan lompatan kurva, yakni dari kurva menulis pribadi menjadi menulis buku untuk kepentingan sosial (Seluruh royalti disumbangkan). Di titik ini saya merasa networking mulai berkembang dan percaya diri mulai meningkat.
Ditahun berikutnya saya melakukan lompatan kembali dengan menulis buku bareng orang lain (Collaborative writing). Lagi-lagi jaringan dan pengetahuan menulis buku bertambah.
Pada tahun berikutnya saya juga melakukan lompatan (masih dalam hal menulis) yakni sebagai pembimbing atau co-writer untuk orang-orang yang ingin menulis buku namun tidak tahu harus memulai darimana.

Sedangkan ditahun berikutnya saya kembali melakukan lompatan yakni menulis buku sebagai ghost writer. Disini saya belajar ikhlas saat karya saya diklaim sebagai karya orang lain. Dan ditahun ini, 2020 saya melakukan lompatan lagi yaitu dengan menulis buku dalam skala global. Mendapat penerbit dari luar negeri serta menulis bersama para pakar leadership dan followership dunia.

Itulah contoh jump the curve dalam menulis buku. Kegiatan menulisnya tetap (tidak berubah), namun kurva lingkungannya yang berubah-ubah. Kalau di 2010 saya tetap ngotot egois menulis buku hanya untuk diri sendiri maka saya akan terus-terusan berada pada kurva yang sama dengan resiko terjebak status quo dan prestasi akan mentok segitu-segitu saja.

Maka melompat ke lain kurva adalah keniscayaan agar target/tujuan saya menulis buku bersama para penulis global bisa tercapai. Prinsip jump the curve pada dasarnya dapat diterapkan pada semua aspek kehidupan termasuk pada pekerjaan kita.

By the way, menulis buku menurut saya adalah opsi terbaik dalam hal meninggalkan legacy dngan biaya terjangkau namun besar manfaatnya. Buku ibarat manuskrip abadi yang tak lekang dimakan jaman.

Kalau Anda mau barangkali kita bisa menulis bersama tentang suka duka selama karantina mandiri di PLTU Barru. Tentunya banyak kejadian seru dan challenging yang kisahnya bisa dibagikan untuk menjadi pelajaran bersama.

Tidak semua orang “berkesempatan” terisolasi di PLTU. Saya percaya Anda adalah bibit unggul dan orang-orang pilihan. Don’t be busy. Be productive. Pekerja biasa cenderung pasrah bila berjumpa musibah, pekerja yang luarbiasa mengubah musibah menjadi potensi besar untuk jump the curve. Tetaplah sabar, syukur dan ikhlas.

Tough times never last, but tough people do.

.

(Muhsin Budiono)

About muhsin budiono

Karyawan, Followership Practitioner dan Penulis Buku. Mengenyam pendidikan di Institut Teknologi Sepuluh Nopember jurusan Marine Engineering (Lulus tahun 2006) dan Narotama University studi Management (Lulus tahun 2014). Followership Practitioner pertama di Indonesia [Certified by Ira Chaleff, Belgium-2017]. Anggota ILA (International Leadership Association). Pemegang Rekor MURI (Museum Rekor Dunia-Indonesia). Disaat banyak orang Indonesia memuji dan mendalami Leadership, muhsin memilih jatuh hati pada Followership sejak 2007 yang lalu. Di tahun 2013 muhsin menulis buku tentang belajar Followership ala Indonesia berjudul "The Jongos Ways" (TJW) yang fenomenal dan menggugah ribuan pekerja di Indonesia. Berbekal buku TJW muhsin semakin getol membumikan Followership ke seluruh penjuru nusantara secara cuma-cuma/tanpa memungut biaya melalui kegiatan-kegiatan seminar, bedah buku, pembuatan video animasi hingga konsultasi gratis. Hal itu dilakukan sebab menurutnya Indonesia sudah “terlambat” lebih dari 23 tahun dalam mengembangkan Followership. Atas upayanya tersebut pada akhir tahun 2014 muhsin mendapat undangan dari International Leadership Association untuk menghadiri International Followership Symposium di Amerika sebagai satu-satunya wakil dari Indonesia. Disana ia intens berdiskusi dengan beberapa pakar followership dunia dan dinisbatkan sebagai pemerhati followership pertama dari Indonesia. Di tahun 2016 Muhsin juga mendapat kehormatan untuk berbicara tentang Followership dihadapan ratusan praktisi Human Resources di Indonesia dalam forum nasional the 8th Indonesia Human Resources Summit (IHRS). Sementara ini muhsin berkarya di Perusahaan Migas Nasional kebanggaan Indonesia: PT Pertamina (Persero) dan sedang mengumpulkan serta menyusun kerikil demi kerikil untuk dijadikan batu lompatan dalam meraih cita-cita sebagai International Islamic Followership Trainer di tahun 2023 mendatang. Muhsin juga memiliki keinginan kuat untuk resign bekerja agar bisa kuliah/belajar lagi di Saudi Arabia guna mendalami teori Islamic Followership yang sedang dikembangkannya.

Discussion

No comments yet.

Your Comment Please . . .

Road to International Islamic Followership Trainer

18 June 2023
Seorang muslim terlalu besar untuk memiliki cita-cita yang kecil. Jangan menyerah. Tetap istiqomah. Where there is a will there is a way.

Buku Karya Pertama

JTIG : Jadi Trainer itu Gampang

Jadi Trainer Itu Gampang : Panduan Praktis untuk Memulai Menjadi Trainer dan Pemandu Pelatihan di Usia Muda. (LMT Trustco - Jakarta)

Buku Karya Kedua

The Jongos Ways : Pekerja Tangguh yang Bahagia dan Penuh Manfaat itu Anda (Penerbit : Elex Media Komputindo)

Buku Karya Ketiga

Berani Berjuang: Realita Cinta, Pertamina dan Bangsa Indonesia (A tribute to Mr. Ugan Gandar). Elex Media Komputindo

Buku Karya Keempat

Memorable Book Banjir Bandang Kota Bima - NTB tanggal 21 & 23 Desember 2016 (Elex Media Komputindo)

Follow me on Twitter