Kawan-kawan semua,
Mestinya saya menulis postingan ini 3 atau 4 tahun yang lalu, namun karena ketidaktahuan dan kekurangcermatan diri ini saya baru bisa menuliskannya sekarang. Ya, Anda tidak salah membaca. Memang mengecewakan, namun faktanya demikian : Maskapai penerbangan kebanggaan kita ini ternyata bertahun-tahun lamanya telah melecehkan Al-Qur’an. Saya adalah pelanggan setia Garuda Indonesia Airways (GIA). Dalam kesempatan bepergian keluar kota dan keluar negeri sekalipun terbang bersama Garuda Indonesia senantiasa menjadi pilihan utama saya.
Saya menyukai GIA dan bangga terhadap konsep unik yang diusungnya : “Garuda Indonesia Experience”, a concept of service designed to allow passengers to experience Indonesia at its best. Banyak keunggulan yang dimiliki GIA, diantaranya adalah Sky Team member, penyajian surat kabar yang beragam pilihan (bahkan dalam bahasa inggris dan mandarin), interior yang mewah, alunan instrumen musik indonesia dalam kabin yang menyesuaikan kekinian (kalau pas Ramadhan yang diputar adalah lagu-lagu islami), snack dan minuman selama penerbangan, pramugari yang ramah dan cantik, harga tiket yang pantas dan bersaing, pilot yang profesional (mayoritas landingnya smooth dan sering saya dapati pilot muslim GIA ditengah perjalanan terbang menyapa penumpang dengan awalan ‘Assalamu’alaikum’ -sungguh mengesankan). Hal lainnya yang membuat saya “lengket” di tempat duduk adalah fasilitas entertainment yang dimiliki GIA : Audio and Video on Demand (AVOD) dengan touch screen LCD TV .
During the flight, you can enjoy a variety of entertainment such as 58 movies and 50 TV programs with various categories from action, drama, to comedy. GIA provide 25 music channels, 9 radio stations and 140 music albums with various genres, from pop, jazz, classic to Indonesian music.
Disamping itu ada kompilasi berupa traditional Indonesian songs by Addie MS, with GIA as the producer. Oh iya, ada juga pilihan games yang interaktif dan menyenangkan untuk anak. Hobi saya pada saat terbang adalah memainkan memory games dengan tantangan sederhana yakni mencocokkan pasangan gambar yang tertutup. Lumayan lah untuk mengasah otak yang mulai menua ini.
Sayangnya dengan banyaknya keunggulan layanan tersebut ternyata kekecewaan yang saya jumpai justru berasal dari fasilitas yang saya sebutkan belakangan diatas. Yang saya maksud adalah AVOD. Untuk membunuh waktu selama penerbangan saya biasanya melakukan muroja’ah hafalan dengan mendengarkan lantunan ayat suci Qur’an lewat AVOD. Ya, ada Qur’an di AVOD-nya GIA. Luarbiasa bukan. Masalahnya ternyata GIA menempatkan ‘folder’ Al-Qur’an dalam file group kategori ‘MUSIK”. Sebab Al-Qur’an bukan musik dan tidak sepantasnya dianggap sebagai musik. Apalagi foldernya diletakkan ‘tersembunyi’ di halaman terakhir setelah folder musik pop, jazz, oldies, western, golden hits, latin, dll. (lihat gambar-gambar dibawah).
Maka penempatan dan penggolongan Al-Qur’an dalam kategori musik jelas merupakan sebuah pelecehan. Sebab (sekali lagi) Al-Qur’an bukanlah musik. Perhatikan perkataan Ibnul Qayyim berikut, “Sungguh nyanyian dapat memalingkan hati seseorang dari memahami, merenungkan dan mengamalkan isi Al Qur’an. Ingatlah, Al Qur’an dan nyanyian selamanya tidaklah mungkin bersatu dalam satu hati karena keduanya saling bertolak belakang. Al Quran melarang kita untuk mengikuti hawa nafsu, memerintahkan kita untuk menjaga kehormatan diri serta menjauhi berbagai bentuk syahwat yang menggoda jiwa. Al Qur’an memerintahkan untuk menjauhi sebab-sebab seseorang melenceng dari kebenaran dan melarang mengikuti langkah-langkah setan. Sedangkan nyanyian memerintahkan pada hal-hal yang kontra (berlawanan) dengan hal-hal tadi.” (Ighatsatul Lahfan, 1: 248-249).
Dari info yang ada, pada 2009 GIA melakukan peremajaan armada-armada lama dengan mengganti interior pesawat dan menambah fasilitas AVOD. Ini berarti sudah 5 tahun lebih fasilitas AVOD terpasang, Al-Qur’an terlecehkan dan kita memilih diam sebab menganggap ini suatu hal yang sepele. Saya pribadi baru menyadari hal ini ketika beberapa hari lalu saat bertolak dari Jakarta ke Surabaya disebelah saya duduk seorang Bapak berkebangsaan India. Bapak ini rupanya sorang konsultan perkebunan dan pengolahan tebu yang hendak meeting dengan kliennya di Kota Pahlawan. Singkat cerita kami terlibat perbincangan seru mengenai pabrik dan mesin produksi gula.
Sampai suatu menit saya lihat ia mulai memejamkan mata (pertanda ngantuk) saya pun menarik diri dari diskusi kecil tersebut dan mulai mengambil headset untuk mendengarkan Qur’an. Kira-kira kurang 15 menit dari pendaratan di Juanda sang Bapak terbangun. Mungkin melihat saya memakai headset sambil bibir ini komat-kamit ia mendekatkan kepalanya ke layar AVOD saya sambil menanyakan musik apa yang sedang saya dengarkan. Sayapun menjawab kalau yang sedang saya dengarkan adalah Al-Qur’an, kitab suci agama Islam dan bla..bla..bla..bla. Sambil manggut-manggut mendengar penjelasan saya ia lantas mengeluarkan satu kalimat yang menohok hati ini : I thought you listening music. Because they (GIA) put it mixed with jazz, classic and others. What a big mistake”.
Mulai itulah saya sadar dengan sesadar-sadarnya dan rupanya selama ini dikarenakan saya selalu memilih pilihan menu bahasa AVOD dalam bahasa inggris maka kata kunci ‘Musik’ yang menjadi biang masalah tidak tampak di mata saya. Sebab ketika pilihan menu bahasanya adalah bahasa inggris maka kata ‘musik’ ditampilkan sebagai ‘audio’. Perhatikan bedanya di gambar berikut :
Memang dalam perjalanan mengembangkan bisnisnya, sejak AVOD pertama kali diluncurkan di sekitar awal tahun 2015 ini saya pernah menemui pembaruan (up grade) yang dilakukan manajemen GIA terhadap AVOD yang saya jabarkan diatas. AVOD yang melecehkan Al-Qur’an dengan memasukkannya dalam kategori ‘Musik’ merupakan AVOD versi lama. Dalam versi AVOD yang baru folder Al-Qur’an sudah disendirikan dalam menu kategori ‘Dunia Islam”. Ini sangat berkesan bagi pribadi saya, sebab disitu tampak bahwa Manajemen GIA berpikir sangat detail. Hanya saja dalam interface yang ditampilkan AVOD versi baru ini penyebutan istilah yang “berbau” musik masih dipakai. Sebagai contohnya yakni kata “Penyanyi” dan “Lagu”. Mestinya kata “Penyanyi” diganti dengan “Qari'” dan kata “Lagu” diganti dengan “Surat”. Sehingga tidak ada lagi tampilan “Jumlah Lagu : 114”. Silahkan dilihat di gambar berikut :
Sampai disini barangkali ada diantara Anda yang berkomentar kalau saya ini terlalu lebay, konservatif, muslim cupet, atau sebutan-sebutan miring lainnya. Tenang saja, saya tidak akan menyalahkan Anda dengan pemikiran tersebut. Saya menghormatinya. Itu adalah hak Anda. Marilah kita saling menghargai apa yang menjadi idealisme dan pilihan hidup kita masing-masing. Saya memiliki dalil sebagai dasar pegangan dan saya yakin Anda juga punya dasar argumen untuk melandasi pilihan/pemikiran Anda.
Kontroversi tentang musik memang seakan tak pernah berakhir. Baik yang pro maupun kontra masing-masing menggunakan dalil dan argumen. Namun bagaimana para sahabat, tabi’in, dan ulama terdahulu memandang serta mendudukkan perkara ini? Sudah saatnya kita memandang kontroversi ini dengan merujuk kepada mereka.
Musik dan nyanyian, merupakan suatu media yang dijadikan sebagai alat penghibur oleh hampir setiap kalangan di zaman kita sekarang ini. Hampir tidak kita dapati satu ruang pun yang kosong dari musik dan nyanyian. Baik di rumah, di kantor, di warung dan toko-toko, di bus, angkutan kota ataupun mobil pribadi, di tempat-tempat umum, serta rumah sakit. Bahkan di sebagian tempat yang dikenal sebagai sebaik-baik tempat di muka bumi, yaitu masjid, juga tak luput dari pengaruh musik.
Merebaknya musik dan lagu ini disebabkan banyak dari kaum muslimin tidak mengerti dan tidak mengetahui hukumnya dalam pandangan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang mubah, halal, bahkan menjadi konsumsi setiap kali mereka membutuhkannya. Jika ada yang menasihati mereka dan mengatakan bahwa musik itu hukumnya haram, maka dengan serta merta jamak orang akan mencemooh dan iapun dituduh dengan berbagai macam tuduhan: sesat, agama baru, islam ekstrem, dan segudang tuduhan lainnya.
Namun bukan berarti, tatkala seseorang mendapat kecaman dari berbagai pihak karena menyuarakan kebenaran, lantas menjadikannya bungkam. Kebenaran harus disuarakan, kebatilan harus ditampakkan. Rasulullah pernah bersabda:
لاَ يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ هَيْبَةُ النَّاسِ أَنْ يَقُولَ في حَقٍّ إِذَا رَآهُ أَوْ شَهِدَهُ أَوْ سَمِعَهُ
“Janganlah rasa segan salah seorang kalian kepada manusia, menghalanginya untuk mengucapkan kebenaran jika melihatnya, menyaksikannya, atau mendengarnya.” (HR. Ahmad, 3/50, At-Tirmidzi, no. 2191, Ibnu Majah no. 4007. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 1/322)
Terlebih lagi, jika permasalahan yang sebenarnya dalam timbangan Al-Qur`an dan As-Sunnah adalah perkara yang telah jelas. Hanya saja semakin terkaburkan karena ada orang yang dianggap sebagai tokoh Islam berpendapat bahwa hal itu boleh-boleh saja, serta menganggapnya halal untuk dikonsumsi kaum muslimin. Di antara mereka, adalah Yusuf Al-Qaradhawi dalam kitabnya Al-Halal wal Haram, Muhammad Abu Zahrah, Muhammad Al-Ghazali Al-Mishri, dan yang lainnya dari kalangan rasionalis. Mereka menjadikan kesalahan Ibnu Hazm sebagai tameng untuk membenarkan penyimpangan tersebut.
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin pernah ditanya : Apa hukum mendengarkan musik dan lagu?. Maka Beliaupun menjawab, “Mendengarkan musik dan nyanyian adalah haram dan tidak disangsikan keharamannya. Telah diriwayatkan oleh para sahabat dan salafus shalih bahwa lagu bisa menumbuhkan sifat kemunafikan di dalam hati. Lagu termasuk perkataan yang tidak berguna. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan”. [Luqman : 6]
Ibnu Mas’ud dalam menafsirkan ayat ini berkata : “Demi Allah yang tiada tuhan selainNya, yang dimaksudkan adalah lagu”.
Penafsiran seorang sahabat merupakan hujjah dan penafsirannya berada di tingkat tiga dalam tafsir, karena pada dasarnya tafsir itu ada tiga. Penafsiran Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an, Penafsiran Al-Qur’an dengan hadits dan ketiga Penafsiran Al-Qur’an dengan penjelasan sahabat. Bahkan sebagian ulama menyebutkan bahwa penafsiran sahabat mempunyai hukum rafa’ (dinisbatkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Namun yang benar adalah bahwa penafsiran sahabat tidak mempunyai hukum rafa’, tetapi memang merupakan pendapat yang paling dekat dengan kebenaran.
Mendengarkan musik dan lagu akan menjerumuskan kepada suatu yang diperingatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya : “Akan ada suatu kaum dari umatku menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat musik”. Maksudnya, menghalalkan zina, khamr, sutera padahal ia adalah lelaki yang tidak boleh menggunakan sutera, dan menghalalkan alat-alat musik. [Hadits Riwayat Bukhari dari hadits Abu Malik Al-Asy’ari atau Abu Amir Al-Asy’ari]
Sementara demikian, saya berharap besar Manajemen GIA membaca postingan ini dan segera menarik AVOD versi lama di semua armada pesawat yang mereka miliki kemudian menggantinya dengan AVOD versi baru yang tentunya sudah disesuaikan beberapa istilah penggunaan kata yang memang perlu dibenahi. Sebab saya sudah menyiapkan petisi untuk GIA apabila AVOD versi lama yang jelas-jelas melecehkan Qur’an tidak mereka tarik dari seluruh armada yang mereka miliki saat ini.
Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa melembutkan dan menjaga hati kita serta menetapkannya di jalan dien yang benar sesuai dengan petunjuk Qur’an dan As-Sunnah. Aamiin.
Wallahu a’lam bis shawab
muhsin budiono – September 2015
Sumber :
Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan Penerbit Darul Haq.
http://rumaysho.com/umum/saatnya-meninggalkan-musik-372.html
http://asysyariah.com/haramnya-musik-dan-lagu/
http://rumaysho.com/teladan/bagaimana-hilangnya-hafalan-al-quran-karena-musik-1451.html
Discussion
No comments yet.