Saya beruntung tinggal cukup dekat dengan masjid yang “ramah” anak. Maksud saya yang ramah adalah pengurus masjid dan orang-orang yang memang sehari-harinya rutin sholat berjamaah disitu. Ini baru saya sadari ketika anak lelaki saya yang berumur lima tahunan tertidur di karpet masjid saat sholat shubuh berlangsung. Kalau diajak shubuhan di masjid biasanya anak saya memang begitu: ikutan sholat jamaah dari takbiratul ihram sampai salam (sambil terkantuk-kantuk tentunya), atau ndelosor tidur di karpet tepat disebelah saya. Sepanjang tidurnya tidak ngorok atau kakinya tidak mengganggu jamah lain biasanya ya saya biarkan saja. Masalah muncul manakala Imam salam dan semua jamaah hening terlarut dalam khusyuknya dzikir ba’da sholat, tiba-tiba saat menyentuh karpet telapak tangan saya terasa basah. “Waduh!”, spontan saya njingkat. Semua mata jamaah memandang heran. Sambil nyengir saya bilang, “anak saya ngompol.”
Cerita selanjutnya bisa ditebak : adegan gotong-gotong karpet, cuci express dan ngepel lantai masjid yang terkena ompol . Walhasil saya panen keringat. Alhamdulillah, insya Allah keringat itu sudah masuk kategori keringatnya olahraga pagi. He..he.
Sampai di rumah saya sedikit merenung. Tadi pas kejadian ngompol saya tidak medapati seorangpun jamaah masjid yang memandang sinis kearah saya/anak saya ataupun “keberatan” dengan karpet masjid yang basah dan bau pesing. Saya malah dapat bantuan berupa sikat dan sabun cuci dari pengurus masjid. Bahkan salah seorang dari mereka sempat menawari agar gulungan karpet yang terkena ompol itu saya biarkan saja. Nanti akan dibersihkan oleh petugas kebersihan yang khusus ngurusi masjid. Salah seorang jamaah bahkan berusaha membesarkan hati saya dengan berkata, “Tenang saja, Mas. Antum baru sekali, kalau anak saya sudah tiga kali ngompol di masjid”. Saya sedikit terhibur, namun banyak-banyakan ngompol di masjid jelas bukan prestasi yang bisa diunggulkan. Karena yang repot dan mandi keringat bukan sang anak, tapi bapaknya.
Beberapa kemudian pada saat sholat jum’at berlangsung (kebetulan hari jum’at itu pas libur tanggal merah, saya tidak perlu Jumat’an di Masjid kantor) saya perhatikan ada lebih dari 20 anak kecil ikut hadir sebagai jamaah. Meski sebagian ada yang duduk bersebelahan sambil sesekali bercanda dan sebagian lagi ada yang duduk dipangkuan orangtuanya, secara keseluruhan anak-anak yang ada di Masjid tidak sampai mengganggu khidmatnya pelaksanaan sholat Jum’at. Anak-anak merasa cukup enjoy di dalam Masjid.
Mestinya memang demikian. Sebab anak-anak memiliki hak untuk berada di dalam rumah Allah Ta’ala tersebut. Sayangnya tidak semua Masjid yang pernah saya singgahi mampu memikat anak-anak untuk senang dan nyaman berada didalamnya.
Sudah menjadi rahasia umum kalau kehadiran anak-anak di dalam masjid cenderung tidak diharapkan. Sebabnya sederhana : anak-anak kerap kali dianggap sebagai sosok pengganggu kekhusyukan jamaah yang sedang beribadah. Padahal khusyuk itu hadir di hati. Kalau pada kenyataannya hati kita yang kotor dan banyak penyakit, masihkah tetap menyalahkan anak-anak sebagai pengganggu kekhusyukan?. Herannya lagi ada pengurus masjid yang sampai repot-repot membuat tulisan berisi larangan masuk khusus bagi anak-anak. Ini bikin kita tepok jidat.
Di sebuah Masjid besar yang berada di sebelah kantor, pernah saya temui beberapa orang dewasa yang tak segan-segan menghardik & mengancam anak-anak yang bermain dan bercanda di masjid. Saya cukup heran karena yang melakukannya adalah oknum guru dan di Masjid itu terintegrasi dengan Sekolah (SD-SMP-SMA) di bawah kepengurusan sebuah yayasan besar. Miris. Kalau di semua tempat yang terjadi adalah demikian maka Masjid akan menjadi tempat yang menyeramkan dimata anak-anak. Anak-anak pun pada akhirnya mencari tempat alternatif untuk berkumpul : Mall, Rental Playstation & game online. Tempat yang menyenangkan dengan penjaga yang ramah lagi murah senyum.
Walhasil, pada akhirnya dimasa mendatang pihak masjid akan mengalami kesulitan mencari kader remaja masjid. Banyak remaja yang “menolak” menjadi remaja masjid sebab sewaktu kecil merasa selalu dimusuhi saat berada di masjid. Sifat Allah yang Maha Rahman tidak termanifestasi di dalam perilaku jama’ah dan sebagian pengurus masjid yang galak dan suka membentak-bentak anak. Anak-anak lebih mengenal Allah yang Mahakeras siksanya dibandingkan Maha Rahim. Ini karena mereka banyak dihukum dan dimarahi jika bermain-main di masjid.
Fenomena lain yang ada yakni bila toh terdapat anak-anak yang datang ke Masjid untuk benar-benar beribadah (datang sebelum qomat dan sholat di shaf depan) pada kenyataannya mereka dianggap ‘jamaah prematur’. Tidak layak sholat di shaff depan. Padahal belum tentu mereka yang lebih tua punya hafalan surat lebih banyak dan bacaan Qur’annya lebih fasih. Bukankah hak untuk berada di shaff depan adalah bagi yang datang duluan? Bukan berdasarkan usia atau senioritas. Kadang saat sholat jumat pun, khatib lupa menyapa anak-anak. Lebih fokus pada jamaah dewasa. Anak-anak dianggap warga kelas dua.
Kita ingat ajaran Rasul untuk memuliakan anak-anak. Sungguh indah membayangkan saat Rasul membawa cucunya, umamah dan husain ke Masjid. Digembirakannya mereka dengan digendong seraya dibebaskan untuk bermain di Masjid. Demi “memuaskan” husain bermain di masjid, Rasulullah melamakan sujudnya agar ia puas memperlakukan punggung Beliau layaknya menunggangi kuda. Beliau tidak memarahinya. Sampai-sampai para Sahabat yang menjadi makmum menduga lamanya sujud Rasulullah akibat datangnya wahyu. Ternyata mereka salah. Rasul menyengajakan sujud berlama-lama supaya anak-anak puas bermain. Bagaimana dengan kita? Kisah-kisah Rasul yang memuliakan anak-anak di masjid mungkin jarang terdengar atau barangkali sengaja dilupakan sebagian orang. Padahal mereka mengaku pecinta Rasul.
Biarlah anak-anak betah bermain di masjid daripada memilih bermaih di tempat lain yang justru menjauhkan mereka dari agama. Bila perlu adakan ruangan bermain khusus bagi anak, atau taman bermain di area Masjid. Bila anak-anak sudah merasa nyaman di Masjid atau di halaman Masjid barulah buat peraturan tentang kapan harus bermain dan kapan harus ibadah. Insya Allah mereka bisa menerima.
Betapa menjadi pemandangan yang membuat hati berbunga-bunga bila pada waktu luang/jam bermain anak-anak meminta izin ke orang tuanya untuk pergi ke Masjid dan betah berlama-lama disana. Masjid pun ramai. Orang dewasa lain yang malas ke Masjid boleh jadi akan turut bergairah melihat masjid yang ramai. Jadilah setiap masyarakat memakmurkan Masjid. Ah, betapa menyenangkan bila hati ini terpikat Masjid.
Discussion
No comments yet.