Ini pelajaran berharga buat siapapun yang merasa dirinya kaya raya dan berpikir bahwa dengan kekayaannya ia bisa bertindak semena-mena. Namun ini juga pelajaran penuh makna bagi para karyawan yang bertugas di dalam pesawat atau transportasi publik lainnya untuk tetap tegar dalam bersikap dan bertindak sesuai prosedur. Sepanjang yang Anda lakukan itu benar maka tak perlu ambil pusing dengan siapa Anda berhadapan.
Putri Bos Korean Air, Heather Cho, dinyatakan bersalah melanggar hukum keselamatan penerbangan dan dijatuhi hukuman penjara satu tahun. Kasus yang dikenal sebagai “insiden kacang” ini memicu reaksi publik yang sangat besar.
.
Dakwaan atas Cho bermula dari sebuah insiden di mana Cho memaksa pilot dalam penerbangan New York-Seoul pada 5 Desember 2014 untuk kembali ke landasan. Ia marah setelah kacang macadamia yang dipesannya disajikan Pramugari dalam plastik kecil, padahal ia meminta disajikan dalam mangkuk. Selain itu, dalam dakwaan juga disebutkan ia menyerang pramugari dan awak kabin baik secara verbal maupun fisik.
Cho, yang juga seorang eksekutif di Korean Air pada saat itu, didakwa menghalangi keadilan dan menyerang seorang anggota awak kabin. Jaksa menuntut hukuman tiga tahun penjara. Pengadilan distrik di Seoul memutuskan bahwa Cho telah secara ilegal mengubah arah pesawat saat tengah mengudara. Cho juga harus bertanggung jawab karena menghalangi keselamatan penerbangan dengan penyalahgunaan wewenangnya.
Dalam pengambilan keputusan, hakim mempertimbangkan sikap Cho yang sama sekali tak menunjukkan penyesalan selama persidangan kendati ia menyerahkan beberapa surat yang menunjukkan permohonan maaf. “Dia memperlakukan penerbangan itu seolah-olah ia tengah terbang dengan pesawat pribadi,” kata Hakim Oh Sung Woo.
Cho, menundukkan kepala saat putusan dibacakan. Dia mengaku tidak bersalah atas sebagian besar dakwaan, termasuk penyerangan fisik kepada awak kabin Park Chang Jin, yang mengatakan dia dipaksa untuk berlutut dan meminta maaf oleh perempuan itu.
Cho dipandang sebagai simbol dari generasi manja dan arogan keturunan konglomerat raksasa, atau chaebol, yang mendominasi perekonomian Korea Selatan. Seperti Cho, banyak keturunan orang kaya Korea Selatan yang diberikan posisi senior dalam bisnis keluarga.
Di masa lalu, pemilik chaebol kerap dianggap kebal hukum. Meski mereka terbukti melakukan kecurangan, hukuman yang dijatuhkan sangat ringan. Cho mengundurkan diri dari semua jabatannya dan telah meminta maaf secara terbuka. Tindakannya di atas pesawat disebut ayahnya, Cho Yang Ho, sebagai “tindakan bodoh”. Insiden kacang Cho menjadi berita utama nasional dan internasional selama beberapa pekan dan dipandang sebagai sesuatu yang memalukan bagi Korea Selatan.
COURAGEOUS FOLLOWERSHIP
Orang-orang seperti Cho merasa harus diperlakukan istimewa, menginginkan masyarakat awam mengakui kedudukannya yang lebih tinggi, dan tidak ingin ada yang memperlakukan biasa-biasa saja. Kalau perlu aturan yang berlaku untuk umum tidak boleh diterapkan kepada mereka. Sekali ego mereka tersinggung, muncullah kemarahan, ancaman, dan bahkan penyerangan.
Ada nasihat yang baik untuk kita, “Orang yang ingin diperlakukan istimewa biasanya justru tidak istimewa”. Mereka-mereka yang ingin dihargai lebih, disambut dengan penghormatan diatas rata-rata, atau diperlakukan layaknya orang penting, mayoritas bukanlah orang yang punya kebesaran jiwa. Orang seperti mereka tidak pantas menjadi pemimpin dan -apalagi- pejabat publik. Sebab dirinya masih bermasalah. Orang yang masih “bermasalah” dengan pribadinya sendiri tidak berhak untuk mengurusi pribadi orang banyak. Bisa kacau dunia ini.
Pada konsep courageous followership yang dikemukakan pakar Followership International : Ira Chaleff, bahasan yang dikemukakan adalah tentang keberanian untuk menyatakan apa yang benar, berani menyatakan apa yang salah, dan berani berkata pendapat yang lain. Salah satu bentuk dari courageous followership adalah the courage to serve, yakni keberanian untuk melayani. Bentuk courageous lainnya yakni courage to assume responsibility, the courage to challenge, the courage to participate in transformation, serta the courage to leave.
Ira Chaleff memang benar, melayani membutuhkan keberanian. Apa pasal? Sebab pada saat kita melayani tentunya yang kita hadapi adalah manusia yang memiliki rasa, kepribadian dan respon yang beragam. Menjadi Pramugari misalnya, harus mampu (baca : berani) untuk memberitahu, mengingatkan, menegur, dan bahkan sampai melakukan tindakan intervensi pada penumpang tertentu yang dinilai akan membahayakan keselamatan pesawat. Ini tentunya bukan hal yang mudah. Keahlian komunikasi, penggunaan gesture yang tepat, mimik wajah, intonasi suara hingga tingkat emotional quotient adalah hal-hal yang perlu dilatih/diasah setiap hari oleh seorang pramugari agar mampu melayani dengan baik. Profesi lainnya pun demikian.
Ternyata dalam melayani membutuhkan keberanian. Inilah salah satu manfaat mempelajari Followership. Dalam satu kesempatan di luar negeri saat saya bertatap muka dengan Ira Chaleff, kami sempat berbincang dan bertukar pikiran. Berdiskusi dengan Ira (-demikian panggilan akrab beliau) sungguh mengasyikkan. Tidak ada kesan menggurui ataupun merasa sebagai seorang pakar yang harus dihormati secara berlebihan. Banyak ilmu baru yang saya serap dari beliau, terutama pemahaman tentang followership. Beliaupun secara khusyuk berkenan mendengarkan penjelasan saya atas kondisi followership di Indonesia. Padahal saya jauh lebih muda dan baru 5 tahun terakhir mendalami ilmu followership. “Orang yang ingin diperlakukan istimewa biasanya justru tidak istimewa”, secara pribadi Ira mengajarkan hal itu pada saya. He is special.
.
muhsin-budiono
Pemerhati Followership Indonesia
.
Discussion
No comments yet.