Judul diatas berasal dari bahasa latin. Artinya Setelah ini, karena itu, karena ini. Kenapa saya harus menggunakan istilah bahasa latin?. Sepele, saya tidak sanggup menjelaskan sesuatu dalam tulisan blog menggunakan bahasa tubuh, bahasa kalbu, apalagi bahasa binatang. Susah rasanya.
Artikel ini merupakan jawaban atas pertanyaan kawan saya yang merupakan seorang Supervisor salah satu divisi kerja di sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Sebut saja divisi X. Baru beberapa bulan memegang jabatan tersebut, tiba-tiba saat berhadapan pada permasalahan kompleks perusahaan, ia menjadi lemah mental hingga merasa tidak cakap (incompetent). Penyebabnya menurut saya cukup sederhana : adanya desas-desus sesama rekan Supervisor dan kerjaan yang amburadul. Kawan saya ini merasa minder. Barangkali mindernya sudah kronis sampai-sampai kepercayaan dirinya luntur. Sebelum dirinya menjadi supervisor, performa divisi X sangatlah bagus. Target selalu tercapai lebih dan segalanya berjalan lancar. Namun ketika supervisor yang lama dipercaya untuk menduduki jabatan lain dan posisinya digantikan kawan saya, mulailah muncul berbagai masalah. Performa divisi menurun, tidak mampu melebihi target yang ditentukan.
Kesimpulannya? Perusahaan salah memilih supervisor baru?. Belum tentu. Bisa jadi kawan saya yang terlalu lebay menanggapi selorohan rekan-rekannya. Ditambah lagi mentalnya kurang kuat. Mental tempe. Anda tahu, di Indonesia iklim persaingan pekerja dalam perusahaan swasta biasanya cenderung vulgar dan lebih “keras” bila dibanding dengan perusahaan non swasta. Kalau ada yang berprestasi dan naik pangkat duluan biasanya banyak yang iri atau cemburu.
Saya segera mencecar kawan saya dengan beberapa pertanyaan. Diantaranya ialah bagaimana cara dia memimpin, bagaimana perhatiannya pada anak buah, bagaimana kerjasamanya, kejujurannya, kedisiplinannya, perencanaan kerjanya, historical data kinerja divisinya, watak+perilaku rekan-rekan supervisor di sekelilingnya, dsb. Rupanya semua baik-baik saja. Tidak ada yang salah dengan perilaku, integritas dan kompetensi kawan saya. Ini hanya masalah mental dan kesabaran mencari solusi yang tepat atas permasalahan yang muncul dalam divisi X. Sebenarnya pada Supervisor sebelumnya masalah-masalah itu sudah muncul dan menumpuk. Terakumulasi dan apesnya : baru “meledak” ketika jabatan supervisornya dipegang kawan saya. Ketiban awu anget. Ibarat gunung es : yang tampak diatas permukaan hanya sedikit, namun dibawah permukaan sudah menggunung.
Inilah yang saya maksud dengan Post Hoc Ergo Propter Hoc. Sebuah keyakinan salah yang logis dimana diasumsikan bahwa karena satu peristiwa terjadi setelah peristiwa lain, peristiwa sebelumnya dianggap sebagai penyebabnya. Dan hal ini sering terjadi di masyarakat. Sudah umum. Pikiran dan nalar kita cenderung memberikan respon lateral sesuai dengan wacana pengetahuan maupun pengalaman terkendali yang tersimpan dalam otak. Kejadian yang baru saja kita alami cenderung dikaitkan dengan peristiwa sebelumnya. Ambil contoh, sepulang kerja Anda membuka kulkas dan minum susu. Satu jam kemudian perut Anda mulas dan mual. Susunya basi?. Banyak orang akan berkesimpulan seperti itu. Menyimpulkan susu basi adalah terlalu dini sebab tidak didasari data dan observasi nyata. Boleh jadi memang sejak kemarin perut Anda sudah “bermasalah”, tapi baru terasa mencuat setelah minum susu tadi. Atau barangkali sewaktu makan siang dikantor ada makanan sedap yang Anda sikat tapi “ndak tawar” di perut.
Dalam siaran “berita” di televisi (saya menuliskan “berita” dalam tanda petik karena saat ini mayoritas berita yang dianggap objektif kemungkinan hanya propaganda belaka) merupakan hal biasa ketika kita dengar informasi yang bernuansa Post Hoc Ergo Propter Hoc. Contohnya : “Sejak Presiden EsBenTo resmi menjabat, perekonomian negara hancur. Harga-harga melonjak, pengangguran meningkat”.
Kepala negara yang baru saja menjabat akan mudah menjadi sasaran kesalahan publik apabila terjadi guncangan ekonomi atau defisit anggaran negara. Ia dianggap tidak becus memimpin atau gagal menjadi kepala negara. Padahal pada saat ia menerima tampuk kepemimpinan kondisi negara memang sudah gonjang-ganjing. Ibarat gunung vulkanik aktif yang hampir meletus. Tinggal menunggu waktu. Ndilalah kok ya ketiban awu anget. Dalam dunia korporasi juga berlaku argumen demikian. Seorang CEO yang baru dilantik bisa jadi “tumbal” ketika perusahaannya tiba-tiba kolaps. Padahal CEO sebelumnyalah yang menjadi biang kerok. Apapun itu, yang jelas semuanya perlu dianalisa lebih mendalam dengan kepala dingin.
Jadi kalau kawan saya membaca artikel ini, besar harapan saya ia sanggup untuk lebih berbesar hati dan sabar. Yakinlah bahwa perusahaan memberikan jabatan tertentu pada seseorang adalah melalui proses yang tidak asal-asalan. Pasti ada alasan yang kuat dan positif kenapa Anda bisa terpilih (baca : dipromosikan) menjadi seorang Supervisor. Tetaplah tampil profesional, berintegritas dan antusias. Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan taufik dan inayah-Nya pada kita semua.
Bekerja bukan sekedar masalah bagaimana menyelesaikan pekerjaan dengan tepat waktu, baik dan benar. Lebih dari itu, bekerja adalah sarana untuk berkarya dan mendewasakan diri.
Tetap istiqomah,
muhsin budiono
Discussion
No comments yet.