Kawan-kawan saya yang baik hatinya,
Dalam tulisan kali ini saya ingin berbagi kebahagiaan. Saking gembiranya saya langsung to the point, nih.
Kemarin, tanggal 04 Oktober 2012 cita-cita saya untuk menjadi seorang pembicara bertaraf Internasional di-amini dan didoakan oleh Bapak Mario Teguh.
Kok bisa ya seorang Trainer papan atas Indonesia mendoakan cita-cita saya. Apa nggak salah ini Mas?.
Baiklah pertanyaannya saya ubah : Kok mau sih Pak Mario mengamini permintaan saya?
Ceritanya begini. Dalam rangkaian acara Continuous Improvement Program (CIP) 2012 yang diadakan perusahaan saya selama 4 hari di kantor unit Surabaya. CIP merupakan ajang unjuk karya/inovasi insan-insan mutu Pertamina yang diadakan tiap tahunnya. Panitia CIP yang baik hati mengundang Pak Mario Teguh untuk memberikan motivasi pada sharing session hari terakhir penutupan ajang kreatifitas & inovasi pekerja tersebut.
Nah, dalam sesi tanya jawab saya mendapat kesempatan untuk berbicara. Itupun setelah beberapa kali mengangkat tangan. Maklum, di forum saat itu banyak yang ingin bertanya. Ada 200 orang lebih memenuhi ruangan penuh antusias mendengarkan “tausyiah” Pak Mario.
Dari seluruh peserta yang hadir turut pula duduk di barisan terdepan para atasan saya. Tidak hanya itu, bahkan atasan dari atasannya dari atasannya atasan saya (nah lho, bingung nih. Sampai tiga tingkatan jabatan) hadir dalam acara tersebut.
Sebenarnya saya tidak berniat untuk mengungkapkan cita-cita tersebut dihadapan banyak orang dan didepan Pak Mario, namun karena waktu itu saya hanya memiliki satu pertanyaan tapi kepingin sedikit lama face to face dan berinteraksi langsung dengan Pak Mario, maka secara spontan keinginan untuk didoakan muncul begitu saja.
Setelah menjawab pertanyaan saya, rupanya Pak Mario lupa untuk mendoakan dan hendak beranjak ke topik lain, untungnya saat itu “Permaisuri” Pak Mario langsung memberi isyarat kepada suaminya. Klik, Pak Mario langsung tanggap. Beliau lalu mengatakan, “Mas Muhsin, ini saya tulis sesuai perkataan Anda. (Beliau lalu menulis di screen : 2023). Saya mengaminkan cita-cita anda ini. Insya Allah bisa tercapai. Amiiin (diikuti gemuruh amin dari banyak orang di dalam ruangan). Pesan saya (kata Pak Mario melanjutkan) : Kalau bisa jangan lama-lama, Mas. Segera wujudkan secepatnya”.
Terus terang setelah itu bulu kuduk saya merinding. Bahkan bulu-bulu yang lain ikut-ikutan berdiri. ^_^
Bahagia, haru, bangga dan takut bercampur jadi satu. Benar, saya mengalami ketakutan meskipun disaat yang sama tekat (baca : keberanian) saya meledak-ledak.
Takut kalau cita-cita ini tidak tercapai di tahun 2023. Mungkin harus molor 3, 5 atau 10 tahun. Lebih takut lagi kalau kondisinya makin parah : Cita-cita itu nggak pernah kesampaian sampai rambut ini memutih semua atau sampai jasad saya teronggok di liang lahat. Ah, semoga tidak demikian. Hanya orang-orang yang yakin dan optimislah yang pada akhirnya cita-citanya dapat terwujud.
Ketika acara bersama Mario Teguh usai, saya menjadi sedikit “terkenal”. Saat acara makan siang saya melihat beberapa pasang mata memandang lantas tersenyum ke saya. Ehm, jadi Ge Er sendiri nih. Begitu pula saat di masjid kantor usai sholat jamaah ada seorang Bapak pegawai senior dari divisi lain yang tidak saya kenal tiba-tiba melihat kearah saya lalu mengatakan, “2023 ya Mas?!”. “Eh, iya Pak. Insya Allah”, sahut saya sambil tersenyum. Tanpa diduga Bapak ini melanjutkan perkataannya sambil memainkan isyarat tangan lalu ngeloyor pergi, “Kelamaan Mas kalau nunggu 2023. Kelamaan”.
Busyet. Saya pun tersenyum kecut. Memang saya tahu kalau Bapak itu mencoba bercanda. Tapi wajah sinisnya itu lho, benar-benar membuat jengkel lahir batin. Seakan-akan hendak menggoyahkan pendirian saya dan mengatakan : “Udahlah, jangan ngimpi Lu. Mau jadi Trainer Internasional di tahun 2023. Kerja aja yang bener di Pertamina. Enak-enak. Kayak Gua nih ampe tua begini. Elu lihat sendiri kan kalau hidup Gua enak.”
Kawan, apa yang sudah terjadi memang terlanjur terjadi. Suka atau tidak suka saya sudah “mendeklarasikan” pada public apa yang saya cita-citakan. Tidak ada rasa malu apalagi penyesalan. Saya yakin itu adalah cita-cita yang baik dan sesuai dengan minat serta keahlian saya. Memang saya tidak bisa memastikan di tahun berapa bakal terwujud. Dan pastinya tidak ada yang bisa memberikan jaminan apakah di tahun 2023 nanti cita-cita itu akan tercapai. Namun saya yakin (tidak sekedar percaya) akan cita-cita tersebut. Sebab keyakinan lebih dekat kepada keimanan. Dan hanya dengan keimananlah seorang muslim dapat hidup dengan optimis dan berkarya dengan ikhlas.
Tidaklah penting apakah cita-cita kita akan tercapai atau tidak. Yang penting adalah kita sudah memiliki cita-cita dan serius terhadapnya. Sebab banyak dari kita yang menjalani hidup ini apa adanya. Tanpa cita-cita dan tanpa tujuan yang jelas. Yang penting bisa makan, bekerja, hidup enak dan nyaman membina keluarga. Coba tanyakan pada orang-orang yang berusia diatas 40 tahun pertanyaan berikut :
- Apakah dulu sewaktu remaja Anda memiliki cita-cita?
- Apakah Anda serius dan memiliki rencana jangka panjang dengan cita-cita tersebut?
- Apakah pekerjaan yang Anda geluti saat ini benar-benar sesuai dengan minat dan Anda menyukainya?
- Apakah pekerjaan Anda saat ini telah sesuai dengan yang Anda cita-citakan dahulu?
Insya Allah kita akan mendapati kenyataan bahwa :
1. Sebagian orang sering berganti cita-cita sampai usia produktif menghampiri. Misal : Waktu TK pingin jadi Pilot. Pas SD ingin jadi Dokter atau Insinyur. SMP mau jadi Orang Sukses. SMA tiba-tiba pingin jadi Pengusaha. Ketika jadi mahasiswa cita-citanya mbleyot pingin jadi politisi atau anggota DPR.
2. Sebagian besar lainnya memiliki cita-cita namun tidak jelas. Contoh : Mau jadi orang Kaya. Ingin jadi orang Sukses (kalau mau jadi orang Sukses, sukses dibidang apa?). Ingin jadi Pengusaha (Pengusaha apa, Bung?. Pengusaha itu banyak). Dalam satu kesempatan mengisi pelatihan di Fakultas Kedokteran PTN di Surabaya saya pernah menanyakan kepada peserta pelatihan tentang apa cita-cita mereka. Saya berpikir semuanya akan menjawab : Ya jelas pingin jadi dokter, Mas. Namun ternyata tidak. Hanya sebagian yang mengatakan ingin menjadi dokter. Sisanya tidak menjawab, tersenyum kecut, bingung atau hanya menatap kosong.
3. Sebagian besar orang yang bekerja saat ini memiliki pekerjaan yang tidak sesuai dengan minatnya dan bahkan tidak pernah terpikirkan sama sekali dimasa remajanya untuk melakukan/menggeluti pekerjaan tersebut.
Sampai disini saya hanya ingin menekankan bahwa memiliki cita-cita itu penting. Bahkan sangat-sangat-sangat-sangat penting. Tanpa cita-cita segalanya akan menjadi terasa begitu penting untuk dikorbankan. Tidak ada skala prioritas dan kebingungan besar akan melanda manakala persimpangan jalan (baca : peluang atau kesempatan) muncul dihadapan mata.
Satu lagi, alasan untuk bercita-cita hendaknya adalah alasan karena Allah dan yang berorentasi hari akhir. Bila ini yang menjadi alasan maka apapun yang terjadi, insya Allah hati akan menjadi tentram. Misalnya, ketika seseorang menghadapi cobaan yang dirasa berat dalam berjuang menuntut ilmu, maka ia akan tetap semangat lantaran ia tahu bahwa Allahlah yang menyuruh untuk menuntut ilmu. Sehingga ia yakin bahwa Allah senantiasa bersamanya, mencukupi kebutuhannya, menjamin rizkinya, menolong, menunjukkan jalan dan memampukan ia untuk meraih yang ia cita-citakan. Ia sadar bahwa ia punya Allah. Zat yang Maha Melihat, Maha Mendengar. Penguasa semesta yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Bayangkan juga bila kita salah orentasi. Misalkan kita bercita-cita hanya karena orentasi dunia. Lalu kita mati dalam perjalanan meraih cita-cita itu.
Begitu pula ketika kita merasa bahwa kita telah berhasil dan telah meraih apa yg dicita-citakan, seperti saat kita telah jadi pengusaha sukses. Atau telah menjadi sarjana, punya jabatan tinggi atau posisi. Bila salah niatan, maka semuanya sia-sia. Hidupnya tidak bermanfaat bagi banyak orang. Ia hidup hanya untuk dirinya dan keluarganya.
”Banyak guru, dokter, hakim, insinyur, banyak orang yang bukunya satu gudang dan diplomanya segulung besar, tiba dalam masyarakat menjadi ”mati”, sebab dia bukan
orang masyarakat. Hidupnya hanya mementingkan dirinya, diplomanya hanya untuk
mencari harta, hatinya sudah seperti batu, tidak mempunyai cita-cita selain dari pada
kesenangan dirinya. Pribadinya tidak kuat. Dia bergerak bukan karena dorongan jiwa
dan akal. Kepandaiannya yang banyak itu kerap kali menimbulkan takutnya. Bukan
menimbulkan keberaniannya memasuki lapangan hidup” (Buya Hamka)
Cita-cita seperti kemudi. Ketika kita punya cita-cita maka kita akan punya arah hidup. Waktu kita akan terisi dengan kegiatan-kegiatan, perjuangan-perjuangan, dan pencapaian-pencapaian untuk cita-cita tersebut. Bayangkan bila kita tidak punya cita-cita. Kita akan berpeluang besar mengabiskan waktu, tenaga dan pikiran untuk sesuatu yang sia-sia. Kita bisa menjadi bimbang dan tak tahu esok mau melakukan apa. Sebab tak punya cita-cita. Tak memiliki mimpi. Tak tahu mau dibawa kemana hidup ini.
Buat Anda yang saat ini sedang berjuang hidup-mati untuk mewujudkan cita-cita, saya ucapkan selamat dan marilah kita saling mendoakan agar cita-cita kita segera terwujud.
Memang mudah untuk menulis apa yang kita cita-citakan dalam kertas atau pada dinding kamar. Mudah untuk membuat agenda dan rencana kegiatan. Tapi untuk pelaksanaan, semua itu butuh perjuangan. Pastilah akan ada ujian dalam perjalanan, akan ada pengorbanan-pengorbanan, lelah, sakit atau bahkan air mata. Tapi sekali lagi, kita punya Tuhan. Allah yang Maha Besar.
Tuhan kita Maha Besar, lantas kenapa mesti kita minta yang kecil-kecil?. Mintalah yang besar. Bercita-citalah yang besar. Jangan mau bercita-cita kecil. Seorang mukmin terlalu besar untuk memiliki cita-cita yang kecil. Alhamdulilah saya memiliki cita-cita yang besar. Bagaimana dengan Anda?
Tetap istiqomah,
muhsin-budiono
Discussion
No comments yet.