Sekiranya ada seseorang yang kurang kerjaan lantas mengajukan pertanyaan : puasa bulan ini masih kurang berapa hari lagi?, rasa-rasanya kita akan mudah menjawabnya. Tidak perlu melihat kalender atau bertanya pada seorang kawan apalagi sampai browsing di internet. Barangkali sudah mafhum kalau kurang seminggu menjelang idul fitri seperti ini maka naluri dan kemampuan setiap muslim untuk mengenali perubahan musim dan pergantian waktu seolah-olah meningkat drastis menyerupai insting birahi serangga di musim kawin. Adapun setelah menjawab pertanyaan diatas, biasanya beberapa diantara kita berseloroh akan cepatnya waktu bergulir : Nggak terasa Ramadhan kan berganti syawal. Idul fitri sebentar lagi. Kata ulama Prancis : Le temps passé si vite (waktu berlalu begitu cepat). Barangkali banyak yang nyengir karena ujian lapar dan haus di siang bolong bakalan usai. Senang-gembira, sebab hari kemenangan sudah didepan mata. Sementara itu sebagian sahabat air matanya meleleh membanjiri pipi sebab sedih akan ditinggal sang tamu agung. Dalam gambaran seperti diatas, kita termasuk yang bersedih atau yang bergembira? Di penghujung Ramadhan kali ini pertanyaan tersebut haruslah dijawab. Sebab indikator optimisme menjadi manusia baru yang kembali fitri pasca Ramadhan sedikit banyak dapat terukur dari penyikapan atas hal ini.
PUASA TANPA RUH
Alkisah ada seorang pemuda alim yang ingin menikmati hari-harinya berpuasa dibulan Ramadhan dengan khusyuk. Setelah berpikir matang maka ia pun memutuskan untuk menghabiskan Ramadhan di kampung halaman Neneknya di lereng gunung -jauh dari hiruk pikuk serta keramaian kota tempat tinggalnya saat ini-. Singkat kata, dimalam pertama Ramadhan ia telah berada di rumah sang Nenek yang menyambutnya penuh suka cita. Kebetulan sang Nenek adalah muslimah yang taat pada agama sehingga nuansa religius senantiasa hadir mulai dari shalat tarawih pertama hingga makan sahur tiba. Lepas bersantap sahur dan shubuh berjamaah di surau sederhana, pemuda kita ini mengisi waktu dengan tadarrus hingga waktu dhuha tiba. Setelah shalat dhuha ia memutuskan untuk berjalan-jalan menikmati pemandangan perbukitan hijau memikat mata.
Menyusuri kejernihan air kali yang dingin; mengunjungi guyuran kolosal air terjun hingga membantu petani kampung bercocok tanam di kebun ia lakukan hari itu. Saking nikmatnya memanjakan diri di alam natural, haus dahaga dan rasa lapar seakan tak dirasakan. Suasana yang disuguhkan kampung Nenek benar-benar seperti yang diidamkan. Tenang dan damai. Tidak ada godaan yang berarti selama berpuasa. Tak ada warung makan yang buka di siang bolong buka. Tak ada lalu-lalang gadis remaja yang menyuguhkan kemulusan aurat disertai pandangan menjerat. Tak dijumpai televisi dengan seabrek iklan dan gunjingan infotainment tak mendidik. Pun tak ditemuinya baliho raksasa yang menampilkan molek tubuh plus paras cantik artis Ibukota.
Sekilas suasana dalam cerita diatas sungguh perfect untuk melaksanakan puasa. Tak ada godaan yang berpotensi menghilangkan pahala puasa atau membatalkan puasa itu sendiri. Bahkan lapar dan dahaga cenderung tak terasa. Lantas, dimana nikmat puasa kalau tak ada godaan? Apa arti puasa bila tak ada nafsu yang dikekang? Bukankah makna puasa adalah menahan?”. Puasa seperti kehilangan ruh sebab tak ’mendukung’ seni menahan kenikmatan. Dalam ending cerita, sang pemuda diatas pada akhirnya memutuskan berkemas lalu pamit sembari menjelaskan semuanya pada sang Nenek.
Kita sering mengeluh saat harus beraktifitas dibawah terik matahari yang menyengat sementara tenggorokan kerontang karena diri ini sedang puasa. Kita senantiasa pesimis mampu menjalankan puasa bila malamnya tertidur hingga adzan shubuh tiba dan tak sempat makan sahur. Tak jarang pula kita sering ngomel-ngomel mirip raja hantu memarahi pasukan dedemit bila suatu waktu berpapasan dengan lawan jenis dengan busana menggoda yang keindahan wajah dan fisiknya sempat memikat hati dan membangkitkan syahwat. Ataukah kita selalu jengkel bila saat berpuasa kemudian melihat sahabat kita berjalan melenggang sambil nyruput kesegaran teh botol dingin di tangan kirinya sementara di tangan kanannya memegang potongan brownies kukus coklat-keju. Inilah bentuk kesadaran yang pertama. Seseorang yang sadar akan rahasia kenikmatan puasa tidak akan mudah marah, pesimis atau benci bila saat ia berpuasa dihadapkan oleh godaan atau ujian seperti model diatas. Sebab, kenikmatan puasa adalah saat dimana kita mampu menahan segala hal yang dapat membatalkan puasa ataupun sekedar membatalkan/mengurangi pahala puasa kita.
Tanpa godaan dan ujian niscaya puasa kita hanya sekedar menahan lapar dan dahaga belaka. Kesadaran akan kenikmatan berpuasa ini seyogyanya memacu seorang mukmin yang sedang ber-shiyam untuk senantiasa giat beraktifitas ”menantang” beragam ujian/cobaan yang bakal menghampiri. Tapi bukan sengaja mencari-cari ujian/godaan. Disini kita tidak dapat berlindung pada ucapan yang menyatakan bahwa tidurnya orang berpuasa itu terhitung ibadah (Lantas dalam seharian berpuasa kita memilih untuk sembunyi di balik selimut dan berteman bantal- guling).
Bentuk kesadaran kedua adalah sadar bahwasanya puasa adalah perintah. Dengan menyadari hal ini maka ia akan serasa diberi tugas/mandat dari sang Khalik. Tugas ini bila diselesaikan dengan baik maka akan mendatangkan kemuliaan dan kebaikan pula bagi pelakunya. Dan perintah untuk ini (puasa) sejatinya tidaklah lebih berat bila dibanding perintah Allah pada Ibrahim as. agar menyembelih putra terkasihnya. Atau perintah agar Rasulullah saw. memulai dakwah dengan terang-terangan kendati penuh resiko terlukai, terintimidasi, bahkan terbunuh. Tidak lebih sukar dibanding perintah pada sahabat Nabi agar berhijrah meninggalkan tanah Mekkah. Atau perintah pada nabi Musa untuk menghadap Fir’aun menyampaikan kebenaran Islam dengan resiko terbunuh sekalipun. Dengan kesadaran ini kita akan merasa malu dan berdosa apabila tengah berpuasa lalu tanpa ada rukhsah atau udzur yang berarti kemudian kita hendak membatalkan puasa. Yang perlu kita garis bawahi disini adalah seluruh perintah yang berasal dari Allah pasti akan membawa manfaat dan keuntungan tersendiri yang melimpah.
Kesadaran berikutnya adalah sadar bahwa puasa adalah manfaat. Bahwa manfaat yang dapat direngkuh dalam bulan Ramadhan ini tak terhitung banyaknya. Manfaat kesehatan, manfaat kepekaan sosial, manfaat menjaga dan melembutkan hati, melatih jiwa, menjauhkan maksiat, meningkatkan progresifitas berkarya, momentum perubahan kearah yang lebih baik, dsb. ”Barangsiapa memelihara perutnya akan terpeliharalah dirinya. Barangsiapa mampu menguasai rasa laparnya akan memiliki akhlak yang baik. Sesungguhnya kemaksiatan pada Allah azza wa jalla itu jauh dari seseorang yang lapar dan dekat dari seseorang yang kenyang”, demikian nasehat ulama Ibrahim bin Adham. Dengan meyakini banyaknya manfaat yang dapat dipetik saat berpuasa maka hal ini akan membuat kita merasa sayang dan merugi jika harus tidak berpuasa ataupun berpuasa namun setengah hati (terpaksa).
Adapun kesadaran terakhir yang akan membuat kita meraih Ramadhan indah penuh makna adalah sadar bahwanya puasa merupakan ”ibadah pasca”. Artinya puasa satu bulan selama Ramadhan adalah sekedar persiapan dan pemanasan (warming up) untuk menghadapi sebelas bulan berikutnya setelah Ramadhan (Syawal hingga Sya’ban). Pada sebelas bulan berikutnya-lah puasa ramadhan yang sebenarnya baru saja dimulai. Sukses tidaknya puasa ramadhan kali ini dapat dinilai saat seseorang mengimplimentasikan idealisme dan perilakunya pada bulan-bulan setelah ramadhan. Sehingga, bila saat ramadhan mampu untuk tidak berkata dusta sedangkan begitu ramadhan terlewati menjadi terbiasa atau malah senang berkata dusta, maka bisa dikatakan bahwa ibadah puasa satu bulan penuh kemarin tidaklah sukses, tidaklah bermakna dan kosong, sebab tak mampu mengubah kebiasaan buruk menjadi baik. Inilah ”ibadah pasca”, ibadah sesudah, ibadah dimana tolok ukur kekhusyu’annya (kesuksesannya) tidak dinilai saat kegiatannya berlangsung. Namun justru sesudah kegiatan tersebut dilakukan.
OPTIMISME IDUL FITRI
Bila menyinggung kata Idul Fitri biasanya pemikiran kita langsung mengasosiasikan dengan kegiatan halal bil halal dimana semua saling meminta dan menerima maaf dengan ikhlas. Kembali fitrah, suci bagai bayi umur sehari. Namun, layakkah kita berkata demikian? Apakah dosa-dosa kita pada Allah juga akan tersucikan sehingga predikat manusia baru pantas disandang? Seberapa optimis bahwa puasa kita sebulan penuh mampu membebaskan diri dari dosa dan menghantar kita menjadi insan bertaqwa saat idul fitri tiba ?
Optimisme atau biasa disebut Husnu adz-Dzan berkaitan erat dengan segala sesuatu yang baik, menyenangkan hati dan dinanti-nantikan kedatangannya. Bertolak belakang dengan pesimisme. Dalam konsep teologi kaum agamawan optimisme dikatakan pula seperti pengertian diatas hanya saja selama sebab-sebab yang dinantikan itu cukup banyak dan logis, jika tidak, maka ia bukanlah optimisme. Ia lebih tepat disebut mimpi di siang bolong. Paling tinggi ia adalah harapan tak berdasar, bahkan bisa jadi ia adalah keterpedayaan dan angan-angan kosong. Dalam bahasa Qur’annya disebut Amaany atau ghuruur.
Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali pernah menulis bahwa dunia ialah ladang akhirat. Hati manusia bagaikan tanah, dan iman ibarat benihnya. Ketaatan-ketaatan mengalir layaknya aliran saluran air, membalikkan tanah dan pemupukan untuk menguatkannya. Hati yang tertutup oleh dunia yang menyelimutinya, seperti tanah yang bergaram, tidak akan berhasil menumbuhkan benih. Hari kiamat adalah hari menuai. Jika seseorang menanam di tanah yang bergaram atau hati yang tertutup maka benih apapun tidak akan muncul, dan dengan demikian ia tidak akan menemukan sesuatu yang dituai ketika musim panen tiba. Pada saat agama menganjurkan kita agar selalu optimis, maka itu adalah anjuran untuk memperbanyak sebab-sebabnya. Anda dapat mengukur diri Anda. Tanah apa tempat Anda menabur dan benih apa yang Anda tabur, akan menetapkan indikasi dan standar kelayakan apakah wajar disebut sikap berprasangka baik (optimis) ataukah justru termasuk kategori terpedaya. Kalau Anda menabur di tanah yang subur (sebelumnya sudah Anda bajak, Anda pupuk dan diberi pengairan yang baik) maka Anda berhak dan boleh optimis. Tetapi kalau benih yang Anda tabur adalah benih kualitas rendah, tanah tempat menabur adalah tanah yang gersang, atau tidak menanam benih sama sekali, maka sungguh Anda telah tepedaya dan bisa jadi telah tertipu angan-angan kosong.
Seorang remaja putri yang bercita-cita untuk berprofesi menjadi dokter saat dewasa nanti maka ia dikatakan wajar memiliki sikap optimis bila sejak dini telah berbekal mempersiapkan sebab-sebabnya. Sehingga ia sadar benar bahwa ia harus istiqomah tekun belajar agar dapat diterima kuliah di Fakultas Kedokteran, banyak berdoa dan sabar, banyak membaca kitab yang berhubungan dengan dunia medis, bergaul dengan dokter ahli yang mungkin lebih tua darinya, giat menabung untuk biaya kuliah dan praktek, hingga yang paling sederhana yakni menanamkan sugesti dan keyakinan tiap hari pada dirinya bahwa cita-citanya tersebut pasti akan tercapai.
Seorang mukmin yang optimis bahwa selepas Ramadhan nanti akan kembali fitri dan menyandang predikat ”hamba yang bertakwa”, maka seharusnya ia telah banyak menghimpun sebab-sebabnya jauh hari sebelum Idul Fitri tiba. Bila saat Ramadhan ia banyak melakukan maksiat, tidak menjaga pandangan, puasa dilakukannya karena ujub dan riya’, enggan bersilaturahmi, sedekah separuh hati, jarang takbiratul ikram bersama-sama di masjid, beritikaf hanya pada tanggal-tanggal ganjil di akhir Ramadhan, tadarrus karena ingin dipuji calon mertua, atau berpuasa tapi kerjanya hanya tidur melulu (enggan berdakwah dan beraktifitas), maka jangan pernah mengatakan optimis menyongsong idul fitri yang barokah. Sebab jikalau itu yang terjadi maka sesungguhnya ia telah terpedaya. Wa Allah A’lam.
Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda, ”Banyak orang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apapun dari puasanya kecuali lapar. Banyak orang yang bangun malam tetapi tidak mendapatkan apapun dari bangunnya kecuali terjaga.”
(HR. Ibnu Majah, Nasai, Ibnu Khuzaimah)
Discussion
No comments yet.