Teman-teman,
Hari ini saya diminta tolong oleh atasan saya untuk merevisi surat izin layak muat BBM ke Tongkang. Redaksionalnya ‘minta tolong’, padahal sejatinya dia tidak perlu minta tolong. Tinggal perintah saja : jongos pasti langsung action. Dasar atasan saya ini baik hati dan tidak sombong. Saking terlalu baiknya bahasa yang dipakai pun selalu santun. Atasan yang model begini ini yang permintaannya cenderung sulit untuk tidak dipenuhi oleh bawahan.
Sekedar sharing wawasan, surat izin muat ini diterbitkan oleh lokasi (sebutan tempat dimana saya berkarya) sebagai tanda bahwasanya si empunya tongkang (pihak luar : Transportir umum) sudah dapat lampu hijau untuk mengoperasikan tongkang karena sudah diperiksa segala tetek-bengek perlengkapannya. Entah siapa yang memperkenalkan istilah aneh ini : tetek-bengek. Kalau di-breakdown perkata arti istilah ini sebenarnya sangat saru. Anda bisa bayangkan teteknya siapa yang bengek?. Meskipun saat kuliah dulu saya mengenyam studi di bidang perkapalan, tapi pemeriksaan kelengkapan (istilahnya : vetting) tongkang disini bukan saya yang melakukan. Vetting dilakukan oleh ‘ahli tongkang’ yang berasal dari bagian safety management representative. Singkatan terkenalnya SMR. Teman-teman SMR inilah yang punya kesaktian untuk menyatakan sebuah tongkang layak atau tidak untuk bisa sandar di dermaga loading. Penilaian (inspeksi dan evaluasi) yang dilakukan SMR mengacu pada petunjuk penilaian OCIMF SIRE – VIQ & VPQ/BPQ. Kependekan dari Oil Companies International Marine Forum- Ship Inspection Report. Lebih lengkap tentang OCIMF SIRE VIQ, VPQ & BPQ silahkan klik disini. Singkat kata kalau mau lulus vetting ya harus murah senyum sama teman SMR.
Menyinggung sedikit tentang tongkang, dihalaman Mbah Google disebutkan bahwa tongkang adalah suatu kapal yang dengan lambung datar atau suatu kotak besar yang mengapung, digunakan untuk mengangkut barang dan ditarik dengan kapal tunda atau digunakan untuk mengakomodasi pasang-surut seperti pada dermaga apung. Tongkang sendiri tidak memiliki sistem propulsi seperti kapal pada umumnya tetapi digantikan dengan skeg.
Gambaran tentang tongkang agaknya sedikit berbeda untuk orang Riau karena adanya upacara ‘Bakar Tongkang’ di Ibukota Rokan Hilir (Bagansiapiapi). Sebab yang dibakar menurut saya lebih mirip replika sebuah kapal atau wooden boat karena memiliki tiang layar yang menunjuk langit. Pun hal ini sesuai dengan asal muasalnya yang dikaitkan kisah pelayaran masyarakat keturunan Tionghoa yang melarikan diri dari si penguasa Siam di daratan Indo China pada abad ke-19 menggunakan kapal. Didalam kapal yang di pimpin Ang Mie Kui, terdapat patung Dewa Kie Ong Ya dan lima dewa. Patung-patung dewa ini mereka bawa dari tanah Tiongkok karena menurut keyakinan mereka bahwa patung benda mati tersebut akan memberikan keselamatan dalam pelayaran. Upacara ini disebut Go Ge Cap Lak yang berarti 15 dan 16 bulan 5 penanggalan dimana oleh orang Tionghoa lebih dikenal dengan sebutan Upacara Bakar Wangkang (Tongkang). Upacara pemujaan terhadap Dewa Kie Ong Ya dan Tai Sun Ong Ya yang dianggap berjasa menjaga keselamatan rombongan orang cina yang menemukan Bagansiapiapi ini telah menjadi ritual rutin sebagai bagian wisata budaya unggulan provinsi Riau.
Kembali kemasalah revisi izin muat. Pada saat diminta melakukan revisi tersebut pandangan saya tertumbuk pada tulisan ‘izin’. Sepertinya salah ini, batin saya bergumam. Maklum dulu waktu SD-SMP saya sering absen ke sekolah dan nulis-nulis sendiri surat izinnya. Sering bingung antara kata ‘izin’ dan ‘ijin’.
Setelah cari tahu kesana-kemari ternyata kata yang benar adalah ‘izin’pakai huruf ‘z’. Penjelasannya begini : Dalam buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan tertulis bahwa ejaan kata dari bahasa asing hanya diubah seperlunya agar ejaannya dalam bahasa Indonesia masih dapat dibandingkan dengan ejaan bahasa asalnya.
Sampai disini saya belum paham. Kalau Anda sudah paham berarti IQ Anda lebih unggul dari saya.
Contohnya begini,
Kata : Frequency (bahasa Inggris) à menjadi frekuensi.
Kenapa bukan frekwensi? Sebab, ejaan dalam bahasa asalnya tidak disertai /w/.
Kemudian : izin atau ijin?
Dua kata tersebut bukan berasal dari bahasa Inggris, melainkan bahasa Arab. Untuk dapat mengetahui penulisan kata-kata itu ke bahasa Indonesia, kita harus melihatnya dalam bahasa Arab.
Jika kita bandingkan antara lafal lambang bunyi bahasa Arab dan lafal lambang bunyi bahasa Indonesia, kita melihat adanya perbedaan-perbedaan yang cukup besar. Upaya terbaik untuk mengatasi itu dalam ialah mencarikan lambang bunyi bahasa Indonesia yang paling dekat dengan lambang bunyi bahasa Arab.
Atas pertimbangan tersebut, huruf <zal> diindonesiakan menjadi /z/, bukan /j/. Selain itu, huruf <zai> juga diindonesiakan menjadi /z/. Walhasil, penulisan yang benar adalah izin (dengan /z/), bukan ijin (dengan /j/). Hal serupa juga berlaku untuk penulisan azan dan zikir.
Bagaimana dengan KBBI?. Dalam KBBI, kata tersebut dijelaskan sebagai berikut :
izin n, pernyataan mengabulkan (tidak melarang dsb); persetujuan membolehkan.
Kalau sudah tahu begini berarti surat izin muat yang diberikan atasan saya tadi tidak ada yang perlu direvisi. Sebab semuanya sudah benar memakai tulisan ‘izin’. Selidik punya selidik ternyata yang perlu direvisi adalah tahun masa berlakunya. Disana tertulis 08 Mei 2011. Seharusnya yang benar : 08 Mei 2012. Alamaaak.
bilikmeja, 17 November 2011
muhsin-budiono
Sumber Pustaka :
1. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi IV (Pusat Bahasa Depdiknas)
2. Buku Praktis Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa Depdiknas)
Discussion
No comments yet.