”Dan demi shubuh apabila fajarnya mulai menyingsing.” (Terj. QS. At Takwir [81] : 18)
Waktu, adalah madrasah maya bagi tiap insan. Wadah pembentukan diri. Ia adalah garis edar hidup untuk kita tumbuh dan berkembang menjadi dewasa, dari lahir hingga berpulang ke hadirat-Nya. Ia adalah harta paling berharga yang dimiliki semua orang. Sumber daya atau modal utama yang terus melaju dan tak akan kembali. Ia tak dapat diperbarui dan bagi saya pribadi ia merupakan substansi gaib nomer dua setelah Tuhan. Memanfaatkan waktu menjadi sedemikian penting dalam hidup ini. Bahkan Allah sering mengikat janji dan firman-Nya dengan keberadaan waktu. Demi masa, demi waktu dhuha, demi malam, demi matahari dan cahayanya di pagi hari, demi fajar, demi langit yang datang pada malam hari, demi shubuh, demi hari kiamat, demi bintang ketika terbenam, demi umurmu, adalah merupakan kalimat-kalimat yang bisa kita temui dalam Qur’an.
FILOSOFI PAGI
Pagi hari adalah bagian dari waktu-waktu Allah yang terus bergulir. Disinilah melekat makna kesegaran, keadaan cerah, keceriaan, semangat dan kehidupan baru. Pagi hari adalah simbol kehendak dan gairah. Demikian banyak hikmah positif berupa optimisme dan spirit hidup yang mengiringi datangnya berkah pagi. Bertemu pagi adalah sebuah keniscayaan, tetapi mengambil manfaat dari keistimewaannya adalah sesuatu hal yang harus diupayakan. Bagi seorang mukmin, waktu pagi adalah inspirasi cinta atas dasar iman yang dimilikinya. Cinta Rasulullah saw. pada keluarganya senantiasa dibuktikan beliau saat pagi hari tiba. Imam Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah saw selama enam bulan pada tiap pagi yang masih gelap, selalu berjalan di tempat tinggal putrinya (Fatimah). Ia ketuk pintunya tiap kali hendak shalat shubuh seraya memanggil dengan penuh kasih, ”Shalat, shalat, wahai keluargaku, sesungguhnya Allah hendak menghilangkan dosa-dosa kalian dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya”. Cinta Rasulullah saw pada pagi, adalah cintanya atas ampunan, pembersihan untuk diri dan keluarganya.
Oleh karenanya pagi tak sekedar sekuensial dari waktu. Ia adalah dasar filosofi hidup. Filosofi bergegas atau menyegerakan diri (syamarra). Pagi senantiasa datang dengan sekejap. Kesempatan dan waktu dalam kurun masa pagi hanya diberikan pada awalan detik-detiknya. Tiap pribadi seperti kita harus berlomba-lomba meraihnya (tanaffus’). Sedikit saja lalai, maka peluang meraih hikmah pagi akan hilang tak berbekas. Demikian pula dengan kehidupan yang kita jalani saat ini. Kompetisi, persaingan, keharusan menentukan pilihan, hingga perebutan kesempatan merupakan keniscayaan yang pasti harus disapa oleh tiap jiwa yang merasakan hidup. Bergegas seperti pagi adalah kebutuhan siapa saja. Sebab filosofi pagi mengajarkan pada kita bahwa perjuangan mensejahterakan hidup ini diawali dari detik pertama kita menginginkan apa yang kita mau, bahkan sebelum kesempatan dan probabilitasnya datang. Kesejahteraan akan menghampiri orang-orang yang sungguh-sungguh berikhtiar serta ikhlas bersegera dalam takwa dan kebaikan.
Islam memberitahukan pada kita istilah istijabah fauriyah, yang berarti ’kesegeraan sambutan’. Yaitu kesadaran mendengar dan menyambut sepenuh hati untuk kali pertamanya. Merespon pada panggilan yang pertama. Gambarannya ialah seperti apresiasi Islam untuk orang-orang yang terlebih dahulu masuk Islam. Para sahabat yang beriman terlebih dulu di masa Rasulullah, tidaklah sama dengan yang beriman belakangan. Mereka yang beriman sebelum dibukanya kota Mekkah adalah berbeda dengan yang beriman setelah dibukanya kota Mekkah. Yang pertama cenderung lebih utama. Sebab saat orang lain masih ragu, berpikir dan menunda-nunda, ia telah susah payah memilih dan menanggung resiko atas pilihannya tersebut. Setali tiga uang dengan para mukmin yang merintis kebajikan menular dan kebaikan derivatif yang turun-menurun dilakukan orang lain. Mereka yang mengawali senantiasa memiliki derajatnya tersendiri dibanding mereka yang mengikuti. ”Barang siapa melakukan kebajikan maka baginya pahala kebajikan tersebut, ditambah pahala kebajikan dari orang-orang yang mengikutinya (meneladaninya), tanpa mengurangi pahala orang-orang yang meneladaninya tersebut”, demikian sabda baginda Rasulullah saw.
”Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka. Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya”.
(Terj. QS. Al Mu’minuun [23] : 60-61)
Discussion
No comments yet.