Akhir bulan april 2011 ini saya mengambil cuti kerja lumayan lama : 6 hari. Ya, enam hari. Rasanya nikmat sekali -meski sempat dongkol sebab seakan-akan jarum jam berjalan lebih cepat dari biasanya.
Termasuk kategori ‘lumayan’ karena dalam kurun 3,5 tahun berdinas, cuti yang saya ambil hanya 9 hari. Kalau dirata-rata berarti 3 hari cuti dalam setahun. Sialnya, saya ingat betul kalau cuti-cuti itu diambil karena badan saya menyerah sebab meriang panas dingin tidak karuan. Barangkali karena tiap hari harus melahap perjalanan sejauh 80 kilometer lebih ngelaju diatas motor. Maklum, domisili saya diluarkota dari tempat kerja saya. Atau mungkin bisa jadi juga badan meriang karena pekerjaan yang saya geluti saat ini tidak sesuai dengan minat dan keinginan saya?. Kalau soal ini saya enggan membahasnya. Oh iya, tolong jangan berprasangka negatif dulu, bukan berarti dalam artikel ini saya ingin memberitahukan bahwa saya termasuk workaholic atau niat show of existence. Pun saya tidak ingin mengatakan bahwa perusahaan saya cuma sedikit memberikan jatah cuti. Tidak. Bukan itu maksudnya. Sebab masalah cuti ini sudah diatur dalam PKB (Perjanjian Kerja Bersama) perusahaan saya. Bunyi aturannya seperti ini : “Perusahaan wajib mengatur dan memastikan Pekerja melaksanakan Istirahat Tahunan/lstirahat Panjang . . .”. Kata ‘wajib’ dan ‘memastikan’ memang sengaja dicetak tebal karena saya menyukainya.
Diperusahaan saya berkarya sekarang ini ada seabrek pekerja yang lebih luarbiasa dari saya. Luarbiasa sebab tidak pernah atau jarang sekali mengambil hak cutinya dalam setahun. Mungkin 90% jatah istirahat tahunan dibiarkan hangus menguap karena tanggungjawab dan dedikasi yang excellent pada perusahaan.Meskipun bukan sebagai pekerja kantoran, diluar sana malahan lebih banyak lagi orang-orang yang ‘terpaksa’ harus bekerja 7 hari dalam seminggu untuk sekedar memenuhi tuntutan perut. Mengendus rupiah dari pagi hingga petang demi memastikan dapur tetap ngebul, listrik tidak diputus PLN dan SPP sekolah anak tidak nunggak. Bahkan rela lembur atau nyambi kerjaan lain yang bisa dikerjakan. Intiya : 3,5 tahun kerja dengan hanya cuti 9 hari itu bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan oleh seorang jongos macam saya.
Dari pengantar diatas muncul pertanyaan : apakah membiarkan jatah cuti hangus adalah sebuah kebajikan atau keburukan? Atau justru merupakan keniscayaan karena telah menjadi bagian dari budaya perusahaan yang sedang getol-getolnya mengumandangkan transformasi?. Inilah point of view yang akan kita kaji dalam artikel ini. Kalau menurut pendapat pribadi saya setidaknya ada tiga alasan yang melatarbelakangi kenapa seorang pekerja secara sukarela (maksudnya : suka ndak suka ya harus rela) jatah cutinya hangus. Yang pertama, adanya nilai yang diyakini secara umum. Dalam bahasa korporatnya bisa disebut : budaya perusahaan. Secara gamblang bisa dikatakan bahwa pekerja tipe ‘sukarela’ diatas terkondisikan oleh budaya yang telah terbentuk hingga merasa nyaman hanya dengan jatah libur sabtu dan minggu dalam sepekan. Hal ini sejalan dengan E. H. Schein (dalam Gibson, dkk, 2000) yang membagi budaya menjadi tingkatan artifact, espoused value dan underlying assumption. Artifact mencakup hal-hal yang didengar, dilihat dan dirasakan (termasuk juga produk, jasa dan bahkan tingkah laku pekerja/anggota organisasi). Underlying assumption merupakan keyakinan yang dianggap sudah ada oleh anggota organisasi. Adapun espoused value atau nilai-nilai yang didukung inilah yang saya maksud. Nilai ini menjadi latar belakang dan alasan tentang mengapa orang mau berkorban demi apa yang dikerjakan (termasuk salah satunya yaitu mengorbankan masa cuti). Nilai ini terbentuk dari beberapa espoused justification yang meliputi strategi organisasi, tujuan bersama, filosofi dasar dimana pada akhirnya sebagai cikal bakal sebuah perspektif budaya yang kuat.
Alasan kedua, yaitu faktor kepemimpinan atau karena memiliki atasan yang -secara langsung maupun tidak- mengkondisikan supaya jatah cuti rela tidak diambil. Secara sederhana bisa dibayangkan ketika anda mempunyai atasan yang sangat baik, jujur, bertintegritas, pekerja keras, brilliant dan selalu men-support kinerja anda sehingga anda tampil cemerlang dikantor. Tiap hari adalah transfer ilmu dan pengalaman terkendali dari atasan anda. Bekerja jadi serasa menyenangkan karena ia berjiwa pengayom dan tidak gopohan, temperamen, apalagi langsung menyalahkan bawahan ketika terjadi permasalahan. Bila terdapat kendala dalam operasional, kendati diotaknya sudah terpetakan solusi yang mamik (mantap & ciamik) tapi ia selalu menyempatkan bertanya, menjaring aspirasi dan pendapat anak buahnya yang masih hijau barangkali saja ada solusi lebih baik yang lebih efektif dan relevan dibanding solusi yang dimilikinya. Pendek kata, ia tampil egaliter, bersahaja dan –yang terpenting- selalu menghargai bawahannya. Kebetulan saya pernah memiliki atasan model seperti ini. Bisa ditebak : ia hampir tidak pernah cuti. Bahkan hari sabtu masih ia sempatkan untuk menengok ‘lokasi’ kerja (lokasi merupakan sebutan kantor bagi orang-orang lapangan yang bertanggungjawab terhadap berjalannya operasional harian yang vital). Yang saya tahu ia pernah ‘terpaksa’ cuti sehari doang karena harus memperpanjang SIM yang mati. Kalau begini sebagai bawahan tentunya juga merasa ewuh-pakewuh saat mau ambil cuti besar atau sekedar cuti 1-2 hari tanpa alasan yang ‘kuat’. Seakan-akan terbentuk suatu budaya kesantunan yang berbunyi : jangan cuti dulu sebelum atasanmu mengambil cuti duluan.
Menyinggung kembali soal budaya, untuk alasan kedua ini lebih pas disebut sebagai iklim (climate). Sebab secara prinsip dua hal ini (culture and climate) memiliki perbedaan. Kebetulan saya teringat tulisan DR. Denison dalam What is The Difference between Organizational Culture and Organizational Climate?. Disana dijelaskan bahwa budaya (culture) mengacu pada struktur mendalam dari organisasi yang mengakar dalam nilai-nilai, kepercayaan dan asumsi yang dianut anggota organisasi. Sedangkan iklim (climate) adalah sebaliknya, menggambarkan lingkungan organisasi yang mengakar di dalam sistem nilai organisasi yang cenderung menampilkan lingkungan sosial yang relatif statis dan sifatnya sementara serta memerlukan adanya kontrol langsung.
Selaras dengan hal ini menurut I.K. Jusi (2001), budaya yang kuat didukung oleh faktor leadership, sense of direction, climate, positive teamwork, value add system, enabling structure, appropriate competences, and developed individual. Nah, diantara faktor pendukung tersebut disebutkan bahwa faktor leadership adalah yang paling menonjol. Artinya komitmen, kesungguhan tekad dan keteladanan dari atasan –terutama pimpinan puncak- merupakan faktor wahid yang sangat mendukung terlaksananya budaya suatu organisasi. Jadi, sosok atasan memang menjadi sangat berpengaruh bagi seorang pekerja dalam mengambil keputusan maupun menentukan sikap.
Adapun alasan yang ketiga : ya memang ada masalah dalam perusahaan/organisasi tersebut. Kalau anda sulit atau tidak bisa cuti maka jangan-jangan memang perusahaan anda kekurangan SDM sedangkan load pekerjaan terlalu besar. Atau banyak jabatan vacant, struktur organisasi kurang beres serta pembagian porsi job yang timpang. Everyday is monday. Disamping itu ‘sulit’ mengambil cuti bisa juga karena anda menjadi tumpuan sebab terlalu banyak menguasai sistem dan seluk-beluk operasional. Ini berarti ada ketimpangan. Tidak meratanya kemampuan individual antara pekerja, disamping pula transfer knowledge and experience yang cacat. Atau lebih parah lagi kalau atasan ‘memanfaatkan’ loyalitas dan kecakapan anda (baca : terlalu sayang pada anda) lantas memberikan kepercayaan yang besar sehingga anda merasa segan, sungkan, takut kehilangan kepercayaan, dan sebagainya. (Btw, untuk memperkaya wawasan tentang cuti silahkan telusur disini )
Alasan lainnya barangkali masih bejibun. Anda bisa tulis dan karang-karang sendiri kalau mau. Yang jelas kalau anda punya jatah cuti jangan ragu untuk mengambilnya. Perusahaan anda memang memiliki hak, demikian pula dengan tubuh anda dan keluarga anda. Bagi saya pribadi, keluarga lebih penting daripada sekedar mendapat predikat pekerja teladan maupun persepsi yang baik dari penghuni kantor. Sebab sukses sebagai individu bukan hanya diukur dari sukses kita di tempat kerja, melainkan juga di rumah, di ruang keluarga dan di kamar tidur anda. Jangan sampai buah hati kita tumbuh dewasa tanpa mengenal baik sosok seorang ayah. Figur teladan dan penguat mental yang didambakan. Saya yakin ini tak semudah membalik telapak tangan. Apalagi bagi anda yang sedang mengejar prestasi kerja atau malah sedang berada di karir keemasan. Namun bagaimanapun sulitnya cobalah merengkuh keduanya. Kata orang bijak, tidak ada yang sulit didunia ini namun juga tidak ada yang terlalu mudah. Yang kita perlukan hanyalah mencoba mewujudkannya. Selamat menjadi pekerja yang luarbiasa. Selamat menikmati nikmatnya cuti.
Wallahu ‘alam bishawab.
If i were medical man, i should prescribe a holiday to any patient who considered his work important. [ Bertrand Russell -British philosopher, logician, essayist and social critic-]
Discussion
No comments yet.