Alkisah, seorang sahabat minta dikirimi via email 6 kalimat kutipan (semacam kata-kata mutiara) dari orang-orang yang berprofesi sebagai motivator atau trainer terkenal seperti Tung Desem Waringin, Hermawan Kartajaya, Mario Teguh, Andrie Wongso, Adi W. Gunawan, dsb yang menurut saya paling berkesan. Ketika ditanya untuk apa perlu ‘quotation’ sebanyak itu, sahabat yang satu ini dengan enteng menjawab untuk “menyemangati” adik perempuannya yang lagi kuliah diluar negeri sana. Oalah-oalah, Adik yang mana, Bung?. Setahu saya dia ini ndak punya adik kandung perempuan. Atau jangan-jangan Bapaknya nikah lagi dengan seorang janda beranak lima yang akhirnya membuat statusnya berubah jadi seorang kakak. Ah, saya ndak mau pusing berandai-andai lebih panjang akan hal itu. Tapi yang bikin kepala saya agak cenut-cenut adalah syaratnya itu lho : ‘quotation’ itu harus bertemakan kasih sayang atau kebijaksanaan hati yang bisa memperkuat jiwa. Tidak lebih dari 75 kata, 300 huruf dan –yang terpenting- harus dalam bahasa Inggris sekaligus ada terjemahan Indonesianya. Wah, memangnya ini mau minta tolong apa lagi nyodorin ketentuan ikutan lomba ngarang cerpen ya, kata batin saya memberontak. Tapi ya sudahlah, saya ndak sampai hati untuk mengecewakan, sebab dari nada bicaranya di telepon saya yakin kalau dia sedang gembira. Atau mungkin sedang jatuh cinta? Yang jelas rekan saya ini dulu orangnya sering sekali jatuh cinta. Maksud saya sering jatuhnya daripada cintanya diterima. 🙂
Waktu itu saya sempat nawari supaya dia pakai kutipan karangan saya, contoh kutipannya saya kirim lewat SMS. Walhasil, setelah membacanya sahabat ini berkomentar sedikit, tapi sukses membuat gusi saya terasa ngilu. “Kutipannya kurang ‘menggigit’, Bung. Lagipula ente masih butuh banyak pengalaman buat bikin kutipan yang mantap”, katanya. Walah, sejak kapan ngarang kalimat butuh yang namanya pengalaman? Tapi memang selera orang beda-beda, kata ‘maklum’ akhirnya menjadi sebuah jawaban atas keruwetan personal ini. Yang waras ngalah..he..he
Singkat cerita hari berlalu. Pagi berganti siang, siang menjelma malam. Dengan iming-iming janji bakal menjadi pembeli buku saya yang pertama (kalau sukses terbit, nih) akhirnya ‘proyek quotation’ itupun selesai. Nah, disini saya mencoba bereksperimen kecil-kecilan dengannya. Dari 6 quotation yang saya kirimkan, 2 diantaranya adalah quotation karangan saya sendiri. Sisanya kutipan kata dari Dr. Najih Ibrahim, (alm) KH. Rahmat Abdullah, HM. Anis Matta. Lc dan almarhum Richard Carlson. PhD. Untuk 2 quotation bikinan saya tadi sengaja saya beri nama HM. Anis Matta jadi seakan-akan kutipan tersebut bukan hasil pemikiran saya.
Selang sehari setelah mengirim email tersebut, HP saya bergetar, seamplop pesan pendek dari seberang hadir dengan tulisan huruf kapital semua kurang lebih seperti ini : “MANTAP BUNG. KATA-KATANYA BAGUS-BAGUS SEMUA. THNX YA”. Saya mengelus dada sembari tersenyum lebar. Sejurus kemudian saya balas dengan bertanya, “Jd dikirim smua atau . . . ?”. Tak lama sahabat ini pun membalas, “Kmrin sdh sy kirim 2 kutipanny Anis Matta. Lusa rncana kirim pnyanya Richard crlson. Lainnya jd stok buat minggu dpn”. Wah, 2 dari 3 kutipannya Pak Anis dipilihnya untuk dikirim. Ini berarti salah satu (atau mungkin keduanya juga J) adalah kutipan karangan saya. Daripada berbuntut panjang saya akhirnya minta maaf dan terus terang kalau kalau dari 6 kutipan itu, 2 diantaranya saya yang bikin. Awalnya sahabat ini agak sewot mirip gadis perawan lagi datang bulan, tapi setelah saya jelaskan nawaitu saya alhamdulilah dia bisa mengerti. “Oo, pantes, makanya bahasanya agak aneh gimana gitu”, selorohnya bernada kecewa.
Saudara, apa yang ingin saya utarakan dari kisah diatas adalah sebuah kondisi faktual dalam kehidupan kita. Seringkali kita menilai kualitas sesuatu bukan dari manfaat sesuatu yang kita nilai tersebut. Tapi lebih dari itu. Kita lebih awal menilai dari apa-apa yang terkait dengan sesuatu itu. Dan parahnya penilaian awal itu biasanya cenderung mengeneralisir semua sifat bawaan selanjutnya. Dalam menilai sebuah karya, sudut pandang dan apresiasi kita akan cukup terpengaruh apabila yang membuat karya tersebut adalah orang-orang yang memiliki “highlight tools”. Kita sebut “highlight” karena orang-orang tersebut memiliki nama yang ‘bersinar’ dikarenakan ketenaran atas sepak terjang kehidupannya, atas kecerdasannya, atas karya-karyanya yang fenomenal, atas kebijaksanaannya, manfaatnya bagi orang lain, keshalihannya, dsb. Nah, orang-orang ini apabila berkarya maka ‘popularitas’ nama mereka akan melekatkan semacam drop cap jumbo yang menyedot perhatian penikmat karyanya. Segala jenis profesi bisa saja menyumbangkan orang dengan predikat ‘highlight’.
Sama halnya dengan artikel ini, kalau dibawah judulnya saya beri tulisan ‘oleh : Muhammad Nuh, DEA’, atau ‘oleh : Dahlan Iskan” mungkin penilaian subyektif telah jauh terbentuk sebelum artikel ini dibaca habis. Dan bisa jadi pembaca benar-benar percaya kalau artikel ini memang bikinan Pak Nuh atau pak Dahlan. Contoh lainnya –maaf agak vulgar- ialah sebuah rekaman video tanpa busana garapan dua artis Ibukota, tentunya akan mendapat komentar dan apresiasi yang ‘lebih’ ketimbang video serupa bikinan anak SMA sebuah pelosok desa di luar pulau sana. “Duuh, gaya cowoknya keren, ekspresi ceweknya juga hebat”, kata seorang wanita separuh baya di facebook mengomentari video artis diatas. Dibawahnya, seorang laki-laki separuh buaya juga urun kata-kata, “Waah, putih banget. Kalau sama dia saya juga kepingin. Mau dong”. Tak peduli seberapa bagus gaya yang dibawakan oleh pelakunya, video artis atau video garapan anak SMA ingusan, dialog dan objek yang ditampilkan adalah sama : penguin yang suka menyelam ke palung dasar laut1.
Jadi, seharusnya tak ada bedanya dan tak perlu ada beda perlakuan pula untuknya. Kasus video mesum sebenarnya merupakan lagu lama dan tak perlu menjadi sebegitu hebohnya seperti kasus mafia gayus tambunan. Namun karena –sekali lagi- bahwa yang berperan didalamnya adalah orang-orang dengan ‘highlight’ maka ia dengan gampang menjadi gayeng dan tanpa persetujuan siapapun layak menjadi gunjingan seantero jagat nusantara.
Dalam konteks lain saya tertarik dengan orang-orang ‘highlight tools’ yang melakukan tindakan atau aksi positif dimana dengan mudah akan memiliki pendukung kolosal atau minimal menyabet simpati banyak orang. Di Surabaya ada guru besar dari ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember) –jangan salah menyebut ‘Institut Teknologi Surabaya’, bisa-bisa Anda ditertawakan jutaan orang diluar sana- yang bersama banyak elemen warga Surabaya getol menyuarakan penolakan pembangunan tol tengah dan meminta anggota dewan bersedia turun ke masyarakat untuk menjaring aspirasi secara langsung. Saya kenal dan haqul yakin pada akademisi ini kalau beliau punya highlight dan apa yang dilakukannya itu tentunya masif mendapat dukungan. Orang-orang dengan ‘highlight’ diluar sana apabila melakukan sesuatu (baik hal positif maupun negatif) akan mudah mendapat perhatian dan simpati dari orang lain. Seorang anak mantan Presiden sekaligus mantan narapidana bila menulis ngawur sebuah artikel dan mengirimkannya ke koran terlaris no. 1 di Indonesia maka artikel tersebut kemungkinan besar bisa langsung dimuat tanpa susah payah melalui proses sunting dari editor koran tersebut. Tapi tentunya Anda tahu betul kalau menjadi editor itu seperti menekuni profesi yang penuh karma. Ketika hasil suntingannya bagus, yang dipuji dan mendapat simpati adalah sang penulis. Namun ketika hasil editannya kurang bagus (baca : jelek) maka yang dicaci biasanya adalah sang editor, bukan penulis. Contoh highlight lainnya ialah seorang Presiden yang oleh rakyatnya diminta memberi nama seorang bayi yang baru lahir maka nama pemberian Presiden tersebut tetap akan diterima meskipun bila terjadi salah penulisan ataupun kesalahan dalam pemaknaan arti nama tersebut.
Contoh senada diatas saya yakin ada banyak dan bakal membuat Anda frustasi kalau saya jabarkan satu persatu disini. Sebab akan mirip sekali dengan halaman ucapan terimakasih yang berlembar-lembar seperti pada buku-buku klise jaman sekarang. Yang jelas, ada banyak orang-orang dengan highlight tools ‘berkeliaran’ disekitar kita. Kalau Anda bertemu dengan salah satu diantaranya tolong sampaikan pesan saya agar mereka senantiasa bersyukur dan menggunakannya dengan bijak. Sebab orang-orang seperti mereka yang pandai bersyukur, idealnya akan dimuliakan Sang Pencipta baik didunia ini maupun diakhirat nanti. Kalau mereka enggan mendengar nasihat Anda, maka sampaikan bahwa kemuliaan akhirat telah berlalu meninggalkan dan jatah sekerat dunia sudah ditetapkan baginya.
Wallahu ‘alam bishawab.
Muhsin Budiono
1) Meminjam istilahnya A. S. Laksana dalam ” Kisah batu menangis”.
Discussion
No comments yet.