Road to 2023
Belajar Islam

Berkah Muhasabah


 

mari bermuhasabah

mari bermuhasabah

“Maka dia mengadu kepada Tuhannya: “bahwasanya aku ini adalah orang yang dikalahkan, oleh sebab itu menangkanlah (aku).”

Pada saat membaca Qur’anul Kariim surat Al Qamar ayat ke 10 diatas, mungkin kita sempat berpikir mengapa saat itu Nabi Nuh Alaihis salam menyatakan termasuk orang yang ‘dikalahkan’ padahal Nabi Nuh tidak pernah berperang secara fisik dengan kaumnya?. Wallahu a’lam, tampaknya saat itu Nabi Nuh merasa telah dikalahkan sebab kezaliman-kezaliman umatnya yang melampaui batas, sehingga dengannya Nabi Nuh melakukan introspeksi. Dari hasil introspeksi tersebut Beliau memilih berdoa pada Allah azza wa jalla untuk ‘dimenangkan’ dari kezaliman dan kefasikan kaumnya. Walhasil, atas pengaduan tersebut kaum Nabi Nuh ditenggelamkan air bah maha kolosal hingga setinggi gunung.

Gambaran introspeksi seperti diatas juga tersirat dalam masa nabiyullah Luth alaihis salam dan kaumnya. “Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. (QS. Asy Syu’araa’ [26] : 164). Nabi Luth telah melewati masa muhasabah dengan memastikan kemurnian niat berdakwah kepada kaumnya. Dakwahnya hanya mengharap ridha Allah, bukan upah atau penghargaan lainnya. Tidak ada penyimpangan visi (Inhiraful mabda’), penyimpangan tujuan (Inhiraful ghayah), penyimpangan konsepsi (Inhiraful manhaj) maupun penyimpangan amal (Inhiraful amal) di sepak terjang dakwahnya, hingga akhirnya Nabi Luth pun berdoa : “Ya Tuhanku selamatkanlah aku beserta keluargaku dari (akibat) perbuatan yang mereka kerjakan.”

Kisah nabi Musa alaihis salam agak lain duduk perkaranya. Dikarenakan ‘rasa penasaran’ ingin melihat Allah -atau lebih tepatnya keinginan untuk lebih memantapkan hati dengan iman –sebagaimana Nabi Ibrahim alaihis salam (lihat QS. Al Baqarah : 260) maka Nabi Musa harus ‘membayarnya’ dengan tak sadarkan diri alias pingsan setelah ditampakkannya kehancuran sebuah bukit. Introspeksi yang dilakukan Beliau hanya berlangsung sepersekian detik sebab peristiwa dahsyat yang baru saja disaksikannya, hingga setelahnya terucap kalimat taubat : “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.” (QS. Al A’raaf [7] : 143). Dalam konteks serupa,di jaman serba aneh seperti sekarang ini sungguh keterlaluan bila di negeri kita ini masih ada orang yang belum yakin atau imannya tidak mantap akan keberadaan Allah. Barangkali jika orang model seperti ini meminta permintaan yang sama dengan Nabi Musa diatas mungkin yang didapat bukan lagi jatuh pingsan, melainkan kematian. Naudzubillahi mindzalik.

 

Adalagi perjalanan Nabi Yunus alaihis salam yang juga sangat gamblang menekankan pentingnya introspeksi atau muhasabah sebelum menjustifikasi sesuatu. Ketika Nabiyullah Yunus diuji oleh Allah Azza wa jalla dengan keingkaran kaumnya sehingga pada suatu kesempatan Nabi Yunus kehilangan kesabaran lantas meninggalkan kaumnya dan juga kewajiban dakwahnya maka beliau menyalahkan kaumnya yang ingkar sebab enggan menerima seruan dakwahnya (lihat QS. Al Anbiyaa’ [21]: 87).

Kekhilafan Nabi Yusuf ini ‘disambut’ oleh Allah dengan ujian, kesempitan dan kegelapan yakni ketika beliau meninggalkan Ninawa (tempatnya berdakwah) dengan sebuah bahtera penuh muatan (over load) yang dikhawatirkan akan tenggelam jika kapasitasnya tidak dikurangi dimana seluruh penumpang akhirnya sepakat mengadakan undian. Siapa yang kalah dalam undian itu akan dilempar kelaut. Nabi Yunus ditakdirkan Allah termasuk orang-orang yang kalah dalam undian tersebut sehingga dilemparkan ke laut (lihat QS. Ash Shaffat [37]: 141). Belum selesai disitu seketika dilontarkan ke laut berlanjutlah sekuel ketegangan dengan aksi Ikan besar (Ikan Nun/sejenis Paus) yang diperintah Allah untuk menelan Nabi Yunus. Jadilah Nabi Yunus berada dalam gelap perut ikan (suatu kondisi sangat gelap yang sesuai dengan ayat ke 87 dalam surat Al Anbiyaa’).

Inilah pelajaran berharga dari Nabi Yunus, sebab dalam perut ikan tersebut beliau menyadari khilaf dan keputusasaannya seraya berdoa “Tiada Ilah melainkan Engkau (Ya Allah), Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku ini termasuk golongan orang-orang yang zalim”.

Lihatlah, disini Nabi Yunus tidak menyalahkan siapa-siapa selain dirinya. Beliau tidak menyalahkan kaumnya atas musibah yang dialaminya. Tidak mengumpat penumpang kapal yang melontarkannya. Tidak pula mengutuk Allah atas nasib dan takdirnya.

Beliau ber-muhasabah, ikhlas dan ridho terhadap ketentuan Allah dimana kemudian Allah menjawab doa beliau dengan mengarahkan ikan besar itu ke pantai untuk memuntahkan Nabi Yunus sebelum asam dalam perut ikan tersebut sempat membuat Nabi sesak tercekik dan merusakkan tubuhnya.

Singkat cerita Allah membebaskan Nabi Yunus dan menjayakan dakwahnya ketika beliau kembali lagi pada kaumnya. Hal ini tidak akan terjadi bila Nabi Yunus enggan ber-muhasabah, menyadari khilaf, mensucikan Allah dan memperbaiki diri.

“Maka bila sekiranya ia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah (berdzikir/bertasbih), niscaya ia akan tetap tinggal didalam perut ikan itu sampai hari berbangkit”. (QS. Ash Shaaffaat [37]: 143-144).

Subhanallah, Maha Suci Allah, kita yang sekedar membaca kisah Nabi Yunus ini setelahnya terkadang lupa untuk bercermin diri. Sebenarnya seringkali pula kita diuji oleh Allah dengan ‘ikan besar’ Nabi Yunus dalam versi dan bentuk yang berbeda. Silahkan menyebutnya : Ikan besar duniawi. Didalam tubuh ikan besar duniawi ini wujud zat asamnya telah berevolusi menjadi asam-asam jahiliyah dan asam syubhat yang disadari atau tidak tengah menggerogoti sekaligus menghancurkan pribadi kita, meluluhlantakkan akidah tauhid keluarga kita serta menghitamkan kebeningan hati dan jiwa anak-anak kita.

Seringkali kita menuduh dan menyudutkan ‘ikan besar duniawi’ kita. Menuding jari pada sosok yang tidak tepat. Kita sering menyalahkan globalisasi dan internet atas bobroknya mental bangsa. Kita juga tak segan menuduh televisi dan hand phone yang telah mempedayai anak kita hingga berwatak keras -jauh dari syariah dan sunnah-. Atau memojokkan zionis yang telah merancang sebuah situs jejaring sosial hingga melenakan remaja muslim dari beribadah. Atau mengumpat takdir Allah ketika gagal dalam tes masuk kerja. Barangkali pernah menyalahkan kesehatan fisik yang kurang prima saat tidak lulus ujian tugas akhir? Kita sering menyalahkan orang lain, menuding ini dan itu, menyalahkan segalanya yang bisa disalahkan. Terlalu jahil dan tinggi hati hingga enggan ber-muhasabah dan menunjuk pada diri sendiri.

Kalau benar kita ini jahil dan tinggi hati, maka tengoklah muhasabah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam yang pada bulan syawwal tahun ke-10 kenabian pergi berdakwah ke kota Thaif (sekitar 60 mil dari kota Makkah) bersama anak angkat beliau, Zaid bin Haritsah. Karena dakwahnya tersebut penduduk Thaif berkumpul melempari beliau dengan batu, mencaci-maki kemudian menghujani tumit beliau dengan batu hingga kedua alas kaki beliau bersimbah darah. Zaid yang kala itu menjadikan dirinya perisai untuk melindungi Nabi juga harus berjibaku hingga mengalir darah segar dari kepalanya. Kebencian penduduk Thaif memaksa Rasulullah berlindung ke kebun milik Utbah dan Syaibah, bin rabiah (sekitar 3 mil dari Thaif). Di kebun inilah beliau mengadu kepada Allah dengan meluncurkan doa yang amat mahsyur dari lisan mulia beliau : “Ya Allah, sesungguhnya kepadaMu-lah aku mengadukan kelemahan diriku, sedikitnya upayaku serta hina dinanya diriku dihadapan manusia, wahai Yang Maha Pengasih diantara para pengasih. Engkau adalah Rabb orang-orang yang tertindas . . .”.

Setelah ditimpa ujian yang demikian Rasulullah mengawali langkah dengan muhasabah, meski beliau adalah semulia-mulianya manusia di muka bumi ini. Kendati saat itu malaikat penjaga gunung menawarkan menimpakan al-Akhsyabain (dua gunung di Makkah, yaitu Gunung Abu Qubais dan Qu’ayqa’an) pada penduduk Makkah dan Thaif. Beliau malah menjawab tawaran tersebut dengan : “Bahkan aku berharap kelak Allah akan memunculkan dari tulang punggung mereka suatu kaum yang menyembah Allah Azza wa jalla semata, dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun”. (Shahih Al-Bukhari, kitab: Bad’u Khalq, I/458; Muslim, bab Ma Laqiyan Nabiyya Min Adzal Musyrikin wal Munafiqun, II/109).

Kalau Rasulullah saja yang akhlaknya paling baik dan bersih dari dosa-dosa memilih muhasabah ketika mendapatkan ujian apatah lagi kita yang tiap harinya berlumur dosa dan maksiat. Keutamaan bertasbih dan memperbanyak istighfar telah dicontohkan oleh para Nabi melalui beberapa kisah diatas. Adakah kita mau mengambil pelajaran darinya? Sebab ada kalanya bala’, ujian hidup, kesempitan, kesulitan, kezaliman atau musibah yang menimpa kita adalah karena kedurhakaan dan penyimpangan yang kita lakukan terhadap perintah Allah dan RasulNya. Adakah kita mau mengambil pelajaran? Adakah kita ragu untuk ber-muhasabah?

Wallahu ‘alam bishawab.

Muhsin Budiono

About muhsin budiono

Karyawan, Followership Practitioner dan Penulis Buku. Mengenyam pendidikan di Institut Teknologi Sepuluh Nopember jurusan Marine Engineering (Lulus tahun 2006) dan Narotama University studi Management (Lulus tahun 2014). Followership Practitioner pertama di Indonesia [Certified by Ira Chaleff, Belgium-2017]. Anggota ILA (International Leadership Association). Pemegang Rekor MURI (Museum Rekor Dunia-Indonesia). Disaat banyak orang Indonesia memuji dan mendalami Leadership, muhsin memilih jatuh hati pada Followership sejak 2007 yang lalu. Di tahun 2013 muhsin menulis buku tentang belajar Followership ala Indonesia berjudul "The Jongos Ways" (TJW) yang fenomenal dan menggugah ribuan pekerja di Indonesia. Berbekal buku TJW muhsin semakin getol membumikan Followership ke seluruh penjuru nusantara secara cuma-cuma/tanpa memungut biaya melalui kegiatan-kegiatan seminar, bedah buku, pembuatan video animasi hingga konsultasi gratis. Hal itu dilakukan sebab menurutnya Indonesia sudah “terlambat” lebih dari 23 tahun dalam mengembangkan Followership. Atas upayanya tersebut pada akhir tahun 2014 muhsin mendapat undangan dari International Leadership Association untuk menghadiri International Followership Symposium di Amerika sebagai satu-satunya wakil dari Indonesia. Disana ia intens berdiskusi dengan beberapa pakar followership dunia dan dinisbatkan sebagai pemerhati followership pertama dari Indonesia. Di tahun 2016 Muhsin juga mendapat kehormatan untuk berbicara tentang Followership dihadapan ratusan praktisi Human Resources di Indonesia dalam forum nasional the 8th Indonesia Human Resources Summit (IHRS). Sementara ini muhsin berkarya di Perusahaan Migas Nasional kebanggaan Indonesia: PT Pertamina (Persero) dan sedang mengumpulkan serta menyusun kerikil demi kerikil untuk dijadikan batu lompatan dalam meraih cita-cita sebagai International Islamic Followership Trainer di tahun 2023 mendatang. Muhsin juga memiliki keinginan kuat untuk resign bekerja agar bisa kuliah/belajar lagi di Saudi Arabia guna mendalami teori Islamic Followership yang sedang dikembangkannya.

Discussion

No comments yet.

Your Comment Please . . .

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Road to International Islamic Followership Trainer

18 June 2023
16 days to go.

Buku Karya Pertama

JTIG : Jadi Trainer itu Gampang

Jadi Trainer Itu Gampang : Panduan Praktis untuk Memulai Menjadi Trainer dan Pemandu Pelatihan di Usia Muda. (LMT Trustco - Jakarta)

Buku Karya Kedua

The Jongos Ways : Pekerja Tangguh yang Bahagia dan Penuh Manfaat itu Anda (Penerbit : Elex Media Komputindo)

Buku Karya Ketiga

Berani Berjuang: Realita Cinta, Pertamina dan Bangsa Indonesia (A tribute to Mr. Ugan Gandar). Elex Media Komputindo

Buku Karya Keempat

Memorable Book Banjir Bandang Kota Bima - NTB tanggal 21 & 23 Desember 2016 (Elex Media Komputindo)

Follow me on Twitter

%d bloggers like this: