Di antara euforia kegembiraan massif merayakan kemenangan juara sepakbola sejagat, di saat fragmen pengusutan kasus video koitus selebriti mencapai suguhan klimaksnya, di tengah kebanggaan (sekaligus kecemasan) para orang tua melepas sang buah hati di sekolahnya yang baru, di sekitar geregetan kolosal akan penuntasan mafia pajak, dan di sela-sela blow up penganiayaan wartawan pengungkap ‘rekening gendut petinggi korps baju coklat’, sebenarnya saya berniat menahan diri untuk menulis artikel ini. Namun kesedihan sekuensial akibat rentetan meledaknya LPG di masyarakat yang terjadi belakangan ini, pun sekaligus penyudutan posisi masyarakat sebagai pihak tersalahkan (terang-terangan maupun tidak) menjadi pertimbangan tersendiri untuk menulis artikel tentang hal ini.
Korban Sia-sia
Merujuk data Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), sedikitnya telah terjadi 95 kasus ledakan gas sejak awal kali pemerintah menerapkan program konversi minyak tanah ke elpiji pada 2007. Tercatat 27 orang meninggal dunia, 131 orang lainnya mengalami luka-luka.
Pusat Studi Kebijakan Publik (PUSKEPI) juga menyuguhkan catatannya pada kita bahwa semenjak konversi hingga Juli 2010 ini, telah terjadi 189 kali kasus ledakan dalam pemakaian tabung gas elpiji rumah tangga. Padahal sebelumnya, jumlah kasus kecelakaan gas “hanya” 30 kasus dalam setahun, dengan jumlah korban tewas 12 orang, dan luka-luka 48 orang. Pada 2008, jumlah kasus kecelakaan tercatat lebih sedikit, yaitu 27 kasus, dengan korban tewas dua orang dan luka-luka 35 orang. Sedangkan pada 2007, saat program konversi mulai dilakukan, terjadi lima kasus kecelakaan, dengan empat korban luka.
Terlepas dari faktor penyebabnya untuk jumlah kasus diatas bisa dikategorikan banyak atau keterlaluan. Insiden sekuensial dalam kurun waktu 3 tahun, ini berarti dalam 1,3 bulan terdapat 1 orang korban meninggal dunia dan dalam seminggu sedikitnya terjadi satu malapetaka akibat gas yang komponen utamanya adalah propana (C3H8) dan butana (C4H10) itu.
Orang awam paling primitifpun tahu bila waktu adalah unrenewable resources. Apa artinya? Ia bisa dipakai dan dimanfaatkan hanya sekali. Kalau istilahnya Drucker : time is the most valuable resources. Ia benar. Semenjak dari awal dipukulnya gong konversi hingga tahun pertama dan kedua berjalan, seharusnya pemerintah bisa memanfaatkan (baca: belajar) dari kurun waktu tersebut dan membacanya dengan lantang bahwa program konversi sama halnya dengan mengirimkan bom waktu ke tiap-tiap ruang dapur masyarakat.
Di tahun ketiga ini dan setelah puluhan nyawa melayang pemerintah beserta jajarannya baru memutuskan untuk mengambil langkah-langkah strategis terkait LPG dan memberikan sosialisasi lebih gencar pada masyarakat.
Memang tidak bisa dipungkiri kalau ‘misi mulia’ pemerintah menggulirkan program konversi akan berdampak pada anggaran negara. Dalam APBN Perubahan 2010, subsidi BBM sebesar Rp.90 triliun. Ini berdasarkan patokan harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar US$80 per barel, produksi (lifting) minyak sebesar 965 ribu barel per hari, serta kuota BBM bersubsidi 36,5 juta kilo liter.
Oleh karenanya, tak heran jika pemerintah getol mencekik peredaran minyak tanah. Pada 2007, konsumsi minyak tanah nasional masih di kisaran 9,85 juta kiloliter, dan drop jadi 7,83 juta kiloliter pada 2008. Angka ini terus diperosotkan hingga 3,08 juta kiloliter pada 2009. Bahkan pada 2010 ini, pemerintah bertekad membebaskan negeri ini dari minyak tanah (kecuali di desa-desa terpencil).
Mengacu data dari Pertamina selaku perusahaan yang ditunjuk melaksanakan program konversi, program ini mampu menghemat anggaran subsidi sebesar Rp. 15 sampai 20 triliun pertahun. Pertanyaannya adalah apakah puluhan nyawa ‘Pahlawan Konversi’ diatas memang sebuah harga mahal yang harus dibayar masyarakat untuk penghematan anggaran negara?.
LPG meledak, siapa tanggungjawab ?
Sebenarnya semua permasalahan accident di dunia ini kalau dicari penyebab atau kesalahannya ujung-ujungnya pasti mengarah kepada satu sosok makhluk paling sempurna di muka bumi : manusia. Seyogyanya kita hanya mengenal istilah human error (kesalahan manusia), bukan kesalahan mesin, kesalahan cuaca dan kesalahan peralatan atau yang lainnya. Sebagai analogi, kalau ada kapal udara yang jatuh karena moncongnya tersambar petir biasanya kita akan mudah menyalahkan cuaca buruk (weather error) sebagai dalang dari petaka tersebut. Padahal kalau petir dan segenap elemen mikrokosmosnya lantas di-personifikasi (diberikan sifat dan fungsi humanistik) saya yakin ia bakalan protes murang-muring tidak terima di-deskreditkan seperti itu. Siapa yang suruh terbang menembus awan hitam yang menggelayut dihiasi sambar-menyambar kilat halilintar?
Hal ini senada dengan masalah LPG yang tengah kita bahas di sini. LPG meledak itu sudah pasti human error. Tapi human-nya ini siapa? Bulan lalu PUSKEPI menegaskan bahwa kecelakaan dalam penggunaan LPG banyak diakibatkan oleh kebocoran gas bukan akibat kualitas tabung yang buruk. Tetapi lebih pada cara penggunaan yang belum benar, dan perangkat penggunaan LPG selain tabung yakni valve, regulator, dan selang yang diduga belum memenuhi SNI (standar nasional Indonesia). Ini bisa diartikan secara tidak langsung bahwa Pertamina tidak bisa dijadikan ‘kambing hitam’. Lagipula Pertamina hanya diberi tugas mengisi elpiji dalam tabung dan mendistribusikannya, bukan memproduksi tabung. Tabung didapat dari produsen lain dengan kewajiban SNI. Untuk pengadaannya menjadi tanggung jawab Kementerian Perdagangan, dan tanggungjawab penerapan SNI-nya oleh Kementerian Perindustrian. Jadi, kalau ada yang bilang Pertamina (baca : kita) harus belajar dari Swiss dalam membuat tabung LPG, maka itu salah besar. Sebab SNI kita sudah mengacu ke standart Internasional. Sebut saja standart AS 2875, BS EN 12864, MS 831, BS 903, AS 1881, JIS S 2103, dan masih banyak lagi lainnya. Yang harus kita cermati adalah penerapan SNI-nya. Sebab kenyataannya banyak tabung yang diproduksi dan beredar di masyarakat ternyata palsu dan atau tidak standar.
Lantas, siapa yang mesti bertanggungjawab?. Awal bulan juli ini, Persatuan Insinyur Indonesia (PII) menyatakan bahwa Engineer (insinyur) yang merancang tabung, kompor, selang maupun regulator LPG tidak sesuai spesifikasi hingga menyebabkan korban harus dihukum”. Masalahnya banyak tabung LPG ilegal beredar di pasar tradisional dan toko kelontong diluar sana yang dibuat/didesain bukan oleh seorang insinyur. Tidak perlu gelar sarjana untuk membuat sesuatu yang palsu. Asal ada kemauan (baca: niat busuk) dan sedikit ketrampilan juga sudah beres. Produk import secanggih apapun bisa dibuatkan duplikatnya. Meski kualitasnya tidak sama persis ya minimal dari tampilan dan fungsinya sudah cukup representatif. Jangankan produk barang, produk intelektual seperti jurnal ilmiah, artikel, skripsi, tesis dan disertasi pun bisa disikat dan berani di-plagiat oleh anak bangsa yang kelebihan hormon kreatifitas dan bermental nrabas. Makanya ada joke kalau Indonesia ini terkenal dengan produk kopi dan karetnya. Maksudnya adalah kebiasaan bangsanya untuk meng-copy and paste (kopi) dan mental jam molor (karet) dalam menepati waktu.
Orang nomor wahid di Pertamina beberapa waktu yang lalu mengatakan bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menimbulkan dampak positif dan negatif bagi masyarakat. Itu adalah sebuah keniscayaan. Tak lama berselang, Jusuf kalla –tokoh sentral penggulir konversi LPG- juga berkomentar : “Jangankan gas, lilin pun bisa bakar anda punya rumah, kalau tidak dipakai dengan baik. Obat nyamuk juga. Jadi tidak ada energi yang bebas risiko,”. Kalau kita ingat gagasan ‘struktur permukaan’ dan ‘struktur dalam’ tentang bahasa ujaran orang pada kajiannya Noam Chomsky (ahli linguistik dari Amerika). Maka setiap pernyataan generalisasi dari seseorang sering merupakan hasil olahan dari cara berpikir yang menyederhanakan masalah. ia juga mengandung distortion and deletion. Sebuah ucapan, katanya, punya model dan watak seperti gunung es: hanya kelihatan sedikit bagian ujungnya tapi menyimpan sesuatu yang lebih besar di bawah permukaan. Nah, begitu pula perkataan Jusuf Kalla. Anak ingusan pun tahu kalau tidak ada energi yang bebas resiko, tapi toh sebagai spesies yang cerdas tentunya resiko itu bisa kita tekan hingga tidak sampai timbul korban jiwa. Apalagi jiwa rakyat kecil yang setiap ada kebijakan Pemerintah selalu harus rela (baca : terpaksa) menjadi korban.
Kalau meminjam joke dalam tulisannya Ario Wijanarko : Bila Anda melihat tikus lari, jangan cepat-cepat berasumsi tikus itulah problemnya. Mungkin, ada kucing yang mengejar. Kucing lari, mungkin ada anjing di belakangnya. Begitu juga anjing, mungkin ada si Fulan (joke-nya: menyebut satu suku di Indonesia) mengejar di belakangnya. Dan, juga, jangan mengira si Fulan masalahnya karena mungkin ada polisi di belakangnya. Artinya, pasti ada rentetan kejadian kotor (baca : kelalaian, minim sosialisasi dan pengawasan) yang mengantarkan rakyat menjadi korban dan “terjebak” pada keniscayaan -seperti yang dikatakan orang nomer wahid di Pertamina diatas- tadi. Ujung-ujungnya bisa ditebak : rakyat yang harus menanggung dan diminta untuk mengerti. Kalau kualitas pendidikan buruk rakyat yang disalahkan; PLN kolaps, rakyat juga yang menanggung; Harga sembako meroket, konversi beresiko tinggi, rakyat juga
yang terbebani. Rakyat sudah terlalu sakit dan menderita, Bung!. Jangan lagi disalahkan atas meledaknya tabung.
Membentuk Derajat Kesiapan
Saya sepakat dengan YLKI yang menyatakan bahwa ledakan LPG akibat semakin kurangnya pengawasan pemerintah. Padahal ketika kebijakan itu ditetapkan harus ada komitmen dan pengawasan yang serius dari pemerintah. Komnas HAM juga menekankan bahwa maraknya peristiwa ledakan ini, jangan masyarakat yang disalahkan. Karena masyarakat hanya sebagai pengguna. Sedangkan seluruh pelaksanaan program dan peredaran peralatan atas izin dari pemerintah.
Kata Louis Pasteur : ”Chance favors only prepared mind”. Maksudnya kesempatan itu datang hanya untuk pikiran yang siap. Derajat kesiapan pikiran didapat dengan pendidikan, latihan dan pengalaman lingkungan. Dalam hal meledaknya gas dapat dibilang bahwa derajat kesiapan masyarakat belum satu frekuensi dengan bergulirnya program konversi tiga tahun lalu. Pemerintah abai menyiapkan budaya safety dan pengawasan peredaran produk-produk konversi sebagai aplikasi nyata dalam membentuk prepared mind masyarakatnya.
Lalu apa yang kini harus dilakukan? Pertama, pemerintah harus peduli rakyatnya. Segera recall seluruh tabung elpiji 3 kg dari masyarakat dan ganti dengan yang baru (standar SNI asli) secara gratis sekalian selang plus regulatornya. Sesuai hasil survey terbaru Badan Standardisasi Nasional dan Pertamina menyebutkan bahwa 66% kondisi tabung yang beredar dimasyarakat ternyata tidak layak. 46% dari sekitar 300 kasus ledakan elpiji disebabkan rusaknya tabung elpiji 3kg. Berikan jaminan asuransi keselamatan bagi pengguna tabung elpiji 3 kg. Tingkatkan sinergisitas dan koordinasi yang baik antar departemen dan instansi yang terkait dengan program konversi. Tekankan kepolisian agar memperketat pengawasan produksi dan peredaran tabung. Yang jelas pemerintah harus tanggap dan cepat bertindak kalau tidak ingin menuai class action dari rakyatnya.
Kedua, galakkan sosialisasi. Harus diakui kalau pemerintah kurang dalam hal sosialisasi terkait penggunaan bahan bakar konversi secara benar dan aman. Hingga saat ini, tidak banyak masyarakat yang tahu bahwa tabung LPG tidak boleh ditaruh di tempat tertutup. Soal penyimpanan tabung, ventilasi yang baik, pengangkutan yang aman, perlakuan selang, identifikasi kebocoran, usia selang dan regulator, juga tidak banyak mendapatkan perhatian karena minimnya sosialisasi. Sungguh, dibutuhkan kepedulian pemerintah dan seluruh elemen masyarakat untuk segera melakukan kampanye penggunaan, pengangkutan dan penyimpanan tabung gas LPG secara aman. Berikan rakyat informasi dan edukasi, sebarkan pamflet dan poster-poster di segala sudut. Bukan hanya poster pengurus partai atau calon kepala daerah yang bisanya berpose narsis marak menghiasi sudut-sudut ruang publik. By pass langsung ke masyarakat amat diperlukan saat ini. Seluruh elemen masyarakat juga harus terlibat. Pengusaha, politikus, calon kepala daerah yang lagi getol kampanye, Birokrat, LSM, Polisi, pejabat publik dan -yang paling penting- : pemilik Media, juga harus terlibat dalam ‘kampanye kemanusiaan’ ini. Kalau mau -tinggal tekan enter saja- Jawa Pos bisa menjadi motor penggerak dalam hal ini.
Ketiga, kembangkan inovasi. Dukung dan danai program penelitian dan pengembangan produk-produk penggunaan LPG (kompor, tabung, selang, regulator, pengaman regulator, dsj) yang aman dan tahan lama. Saya lihat BPPT sudah berinovasi dengan membuat desain kompor LPG yang di-klaim lebih aman dan praktis (tanpa selang). Pertamina, PII, Industri swasta, mahasiswa dan lainnya mungkin bisa bekerjasama dalam hal ini.
Keempat, Pertamina juga jangan mau kalah. Bangkitkan SPBE (Stasiun Pengisian Bulk Elpiji) dan SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) yang menjual Elpiji sebagai frontliner perusahaan untuk membuka akses komunikasi secara efisien dan efektif kepada rakyat dalam mendapatkan informasi seputar LPG. Agendakan kegiatan sosialisasi secara kolosal yang langsung menyentuh masyarakat. Edukasikan petugas-petugas lapangan di SPBU dan SPBE serta agen-agen Elpiji untuk mengupayakan Safety Talk and Safety Stand Down dengan masyarakat di lingkungan sekitar. Memang butuh pengorbanan, kerja keras dan biaya yang tidak sedikit, tapi ini bisa menjadi keuntungan juga bagi Pertamina untuk mendongkrak citranya sebagai perusahaan kelas dunia yang memiliki tanggungjawab moral (human spirit) tinggi dan telah mengimplementasikan human-centricity marketing 3.0-nya Hermawan Kartajaya. Jadi benar-benar membuktikan jargon transformasi-nya Pertamina : Kerja keras adalah energi kita.
Memang sebaik apapun tujuan dari misi mulia pemerintah untuk melakukan program konversi tetap harus dibarengi dengan pengawasan dan kawalan yang super ekstra dari semua elemen kalau tidak ingin berbuah keburukan. Keburukan adalah state dengan energi rendah, dengan kata lain, untuk menimbulkan keburukan tidak dibutuhkan energi. Biarkan saja suatu sistem/program berjalan begitu saja, dan pada suatu saat nanti Anda akan menemukan bahwa sistem/program tersebut sudah berada ditepi jurang kehancuran. Sementara itu kebaikan adalah state dengan energi tinggi, dengan kata lain, merupakan suatu kondisi yang dapat eksis apabila ada pasokan energi kedalam sistem. Saya berdoa dan berharap besar untuk bisa ikut andil dalam memasok energi tersebut. Bagaimana dengan Anda?.
Wallahu a’lam bishawab
muhsinbudiono
Discussion
No comments yet.