Kawan-kawan semua,
Tulisan ini sebenarnya bisa dibaca di buku ke-2 saya, namun tidak ada salahnya kalau saya posting juga disini juga. Judul aslinya “Menjauhi Politik Labil dan Memilih Politik Stabil”, ini merupakan tips kalau kita mau menjadi seorang Jongoszers.
Saya memiliki seorang kawan yang telah bekerja selama 5 tahun dan memilih untuk resign dari perusahaan. Alasannya? Ia merasa tersingkir oleh rekan-rekannya dikantor yang menerapkan politik kotor (menjilat, aji mumpung, kolusi, cari muka, memfitnah, dsj) untuk mengamankan posisi atau meraih jabatan. Kawan saya ini akhirnya memilih berwirausaha dengan jalan berdagang.
Dengan bangganya ia berseloroh kalau sekarang telah menjadi insan yang merdeka. Jauh dari tekanan atasan, lepas dari kebusukan politik kantor dan jauh dari kemunafikan. Barangkali ia memang benar, tapi tidak 100% benar. Saya lihat bisnis yang dilakoninya tidak berkembang dengan baik meski telah mengklaim telah menjadi insan merdeka. Penyebabnya saya pikir sederhana : ia masih menggunakan mindset yang lama sebagai pekerja dalam berwirausaha. Ia tetap menjadi pribadi yang suka mengeluh dan separuh hati. Bahkan dalam hal beribadah mendekat kepada Al-Khalik ia juga masih separuh hati. Semestinya mindset lama tersebut ia buang jauh-jauh saat memutuskan menjadi pengusaha.
Kalau membahas masalah politik, mayoritas orang cenderung mengasosiasikan dengan bahasan bertema perebutan kursi kekuasaan, strategi menghalalkan segala cara hingga persoalan parpol. Okelah, itu memang kecenderungan yang terjadi. Tapi dalam wilayah yang sederhana, pandangan tentang politik telah menjangkau seluruh lini kehidupan kita. Sebab politik mendapatkan definisi/tempatnya yaitu sebagai cara maupun strategi untuk meraih sesuatu. Nah, cara/strategi itu seharusnya terbingkai dalam koridor kebaikan.
Politik muncul karena adanya interest (kepentingan). Begitu terdapat kepentingan dari seorang
nama kepentingan dan demi kepentingan pribadinya melakukan berbagai perilaku anggota organisasi/institusi/perusahaan maka perilaku organisasi/institusi/perusahaanpu akan dihiasi oleh dimensi politik.
Dalam dunia kantoran kita mengenal ada dua jenis politik yang muncul. Yang pertama disebut Politik Labil. Sedangkan satunya lagi disebut Politik Stabil.
Politik Labil adalah jika seseorang atas kerja yang cenderung tidak etis, keluar dari norma dan merugikan orang lain. Cirinya sebagai berikut :
a. Prioritas : Kepentingan pribadi diletakkan diatas kepentingan organisasi/perusahaan.
b. Metode : Cara yang dipakai tidak santun dan tidak profesional. Misal : Memfitnah rekan kerja, menjilat atasan, cari muka, ngrasani/menggunjing, mengandalkan ‘gerbong’, membentuk Barisan Sakit Hati, menyalahkan atau “menyikut” rekan kerja, dsb.
Seringkali mereka yang menggunakan Politik Labil ini terlihat sukses dan berhasil meraih apa yang diinginkan. Namun percayalah kalau kesemuanya itu bersifat semu dan jauh dari predikat mulia. Seperti mendirikan istana menggunakan pasir dan kotoran binatang : rapuh dan berbau.
Sebab Politik Labil cenderung memakai “akses”, “cantolan”, “backing” atau apapun namanya sebagai ‘sosok’ yang diandalkan. Sosok tersebut biasanya adalah mereka yang berada dalam lingkaran pemegang kekuasaan dan decision maker dalam organisasi/perusahaan (bisa atasan langsung, kolega yang dekat dengan pimpinan, pejabat pemerintahan, saudara dari pemilik perusahaan, dll).
Anda bisa saja selicin belut dan selicik musang dalam menerapkan Politik Labil, namun camkanlah bahwa ketergantungan pada “orang-orang” diatas sebagai akses/backup tidaklah abadi dan bisa mendadak lenyap bila mereka tiba-tiba berubah sikap atau kehilangan kekuasaan. Disamping itu pola Politik Labil akan mudah ketahuan “boroknya” karena dalam perilaku korporasi bisnis modern dewasa ini organisasi/perusahaan mulai obyektif menilai dan menimbang anggota/karyawannya semurni mungkin berdasarkan kontribusi kinerja (KPI, copy-coaching,dsj). Jadi lupakanlah untuk menjadi “politisi kantor” yang menerapkan Politik Labil. Itu akan menyengsarakan Anda.
Selanjutnya kita pelajari Politik Stabil. Politik ini berbeda dengan Politik Labil, meski demikian perbedaannya lumayan tipis. Tak jarang kalau mayoritas orang sering salah paham dan memandangnya setali tiga uang dengan Politik Labil. Politik Stabil memiliki ciri sebagai berikut :
a. Prioritas : Kepentingan organisasi/perusahaan diletakkan diatas kepentingan pribadi.
b. Metode : Cara yang dipakai santun dan profesional., yakni dengan selalu menempatkan kinerja/prestasi yang baik sebagai sarana untuk dikenal oleh atasan ataupun untuk mendapatkan “akses” dari pemegang kepemimpinan. Misal : Seorang karyawan yang memiliki kinerja bagus kemudian membuat karya tulis atau membuat terobosan/inovasi bagi perusahaan agar kinerjanya “dilirik” oleh manajemen. Ini adalah Politik Stabil. Ingatlah bahwa Politik Stabil mengutamakan kinerja/prestasi yang bagus. Artinya kepentingan perusahaan diakomodir lebih dahulu. Kontribusi yang diberikan sudah jelas diawal. Berbeda dengan Politik Labil, dalam Politik Labil tidak dikenal yang namanya kinerja/prestasi. Yang ada hanyalah cari muka dan omdo (omong doang).
Dari sini kita tahu bahwa menerapkan Politik Stabil bukanlah hal yang mudah. Sebab kadangkala kita kurang perhatian pada unsur ikhlas. Padahal unsur ikhlas sangat penting dalam Politik Stabil. Ikhlas menjadi penawar ketika kerja keras/prestasi Anda ternyata tidak…eh, belum dilirik oleh atasan atau top management perusahaan. Ikhlas akan membuat Anda tetap mempersembahkan yang terbaik meski prestasi yang Anda ukir dianggap remeh oleh atasan.
Menerapkan Politik Stabil memang membutuhkan keikhlasan dan kesabaran tinggi. Tidak ada jaminan apa yang kita upayakan akan berhasil “menarik” perhatian. Namun disitulah seninya sehingga menjadi menarik. Kebanyakan orang bijak percaya kalau kita melakukan sesuatu karena mengharap pamrih atau imbalan maka semakin kecil kemungkinan kita untuk mendapatkannya. Lantas kenapa kemudian dibutuhkan adanya pelaku Politik Stabil? Salah satu tujuan Politik Stabil adalah untuk membuat stabil iklim unfair condition yang dibentuk oleh mereka-mereka yang menjalankan Politik Labil dalam pekerjaannya.
Selama memenuhi tiga kriteria diatas (ikhlas, mengutamakan kepentingan perusahaan, serta metode santun & profesional) maka adanya penerapan Politik Praktis menjadi sangat penting. Sebab jamak kita dengar kalau sebuah prestasi kerja, out put, kinerja, success story, image kredibel dan berintegritas memerlukan politik Stabil untuk mendapatkan akses atau pengaruh ke pihak manajemen. Hal ini sah-sah saja dan halal dilakukan. Karena pada organisasi/perusahaan yang sedang berkembang ada kecenderungan perusahaan tersebut belum memiliki alat, sistem maupun struktur yang secara otomatis bisa langsung memotret atau meneropong kinerja dan prestasi anggota/karyawannya secara objektif, tepat waktu dan proporsional.
Atau ada kalanya suatu ketika perusahaan secara tidak sengaja atau tidak sadar telah mengeluarkan aturan/kebijakan yang kontraproduktif dan ujung-ujungnya bisa merugikan perusahaan itu sendiri. Nah dalam case kebijakan sepihak seperti itu diperlukanlah peran Politik Stabil.
Sekarang kita telah memahami bagaimana menjadi “politikus” yang baik di tempat kerja. Banyak orang bilang kalau politik itu kejam dan buruk. Itu berlaku bagi mereka yang kepincut dengan Politik Labil. Akan menjadi sebuah keniscayaan bagi organisasi ataupun perusahaan yang ingin maju untuk menjadikan Politik Stabil sebagai prinsip yang dijalankan serempak oleh karyawan dan pihak manajemen. Jadi bukan “dimainkan” oleh para bawahan saja, melainkan juga para top management yang ada agar tercipta iklim kerja yang kondusif dan mudah dicarikan solusi yang bersifat “win-win” bila terjadi suatu permasalahan.
Wallahu a’lam.
Tetap istiqomah,
muhsin-budiono
MAU MENGOMENTARI ARTIKEL INI?
Silahkan isi komentarmu di form Leave a Reply dibawah ini. Terimakasih.
Discussion
No comments yet.