Road to 2023
Muhtivation

Semangat Butuh dan Butuh Semangat


Didepan rumah mertua saya, pemuda itu berkeringat, tersenyum lalu dengan tangkas menawarkan dagangannya. Ia menawarkan kaligrafi berpigora ukuran jumbo. Gila, mungkin kalau tak melihat sendiri anda pikir saya sedang membual. Bukan cerita hoax. Ia membawa 3 buah kaligrafi ukuran 2 meter x 1 meter ditubuhnya. Sekilas saya lihat karyanya sangat sempurna. Garapannya halus. Sayang, saya tidak begitu suka memajang lukisan ataupun kaligrafi model begitu di rumah. Karena selain tidak begitu berguna, fungsinya juga tidak jelas. Ia tidak bisa menghalau masuknya setan dan dedemit, tak mampu mengusir tikus dan rayap, apalagi mencegah datangnya pengamen atau sales alat-alat rumah tangga yang kerap kali datang ke rumah. Paling banter ia hanya akan menjadi semacam rambu petunjuk yang memberitahukan kalau pemilik rumah adalah seorang muslim. Sering saya perhatikan kalau rumah-rumah yang dinding ruang tamu maupun ruang keluarganya banyak dijumpai pajangan ayat-ayat Qur’an, foto-foto ketika naik haji dan umroh, maupun kaligrafi bahasa arab berbingkai pigora cantik, biasanya sang pemilik rumah tidak menampilkan identitas atau ciri seorang muslim. Tidak memakai celana nggantung, enggan memelihara janggut dan jarang ke masjid. Selain itu istri dan anak-anak perawannya juga tidak menutup aurat apalagi berjilbab. Yah, beginilah jaman sekarang. Semua serba terbalik. Sulit membedakan mana muslim dan mana yang bukan muslim dari penampilannya. Begitupula dengan rumah seorang muslim. Sulit membedakannya. Seharusnya ciri khas seorang muslim ditentukan dengan identitas penghuninya yang memang beratribut muslim –selain didukung pula dengan kelakuan dan kebiasaan yang mencerminkan seorang muslim.

semangatOh iya, kembali pada penjual kaligrafi tadi. Sebenarnya saya sudah terlanjur ingin mengeluarkan uang dari kantong celana untuk menghargai keramahtamahan serta jerih payahnya memikul barang jumbo begituan. Tapi begitu hendak menggerakkan tangan, terbesit dipikiran saya kalau nantinya jadi terbeli mau ditaruh dimana kaligrafi segede itu. Bisa-bisa istri saya meracau mirip tukang obat kuat dadakan didepan masjid usai sholat Jumat; Atau minimal bakalan cuek 24 jam bak lukisan Monalisa karena membeli sesuatu yang nilai manfaatnya tidak begitu besar dan tanpa koordinasi terlebih dahulu. Anda tahu, dicuekin seharian rasanya bisa lebih parah ketimbang dua minggu gigit jari menahan nafsu tatkala istri sedang datang bulan. Ya, beginilah kalau sudah berumah tangga. Seringkali anda harus ‘lapor’ atau ‘konsultasi’ terlebih dahulu sebelum membeli sesuatu untuk dibawa pulang kerumah. Hukumnya wajib separuh sunnah. Andai anda abai terhadap hal ini maka siap-siap saja segala kesalahan ditimpakan diatas kepala. Suratan takdir kaum lelaki biasanya memang seperti itu : bila tidak sesuai dengan kehendak istri, biasanya selalu disalahkan kalau ada yang tidak beres dirumah. Mulai genteng bocor, kamar berantakan, pintu lupa dikunci, uang belanja nipis, gairah lemah, sampah numpuk, anak kelewat nakal, dan sederet ketidakberesan lainnya nampak lebih pas kalau sang suami yang ditunjuk hidung. Diluar rumah boleh jadi garang seperti macan, berhadapan dengan istri, hancur.

Setelah beberapa saat membaca mata saya, rupanya penjual kaligrafi ini memahami masalahnya dan dengan santun meninggalkan tempatnya berpijak. Sebelum mengucap salam ia menyodorkan sebuah kertas mirip kartu nama yang berisikan nama, alamat workshop dan nomer telepon selular. Semuanya tulisan tangan dengan font jenis tegak bersambung. Luar biasa, batin saya bergumam.

Rekan pembaca yang baik, ada semangat menonjol yang bisa kita dapatkan dari kisah diatas. Penjual kaligrafi yang saya ceritakan seakan-akan sudah tidak membutuhkan semangat karena kebutuhannya akan penghasilan atau pembeli. Atau bahkan kebutuhannya terhadap calon pembeli. Ia tak lagi membutuhkan semangat sebab semangat sudah terhimpun dengan sempurna di jiwanya. Ketika semangat itu sedikit demi sedikit berkurang karena cobaan dan masalah yang ditemuinya di jalan maka sejatinya ia tidak berkurang. Ia hanya ditransfer, berpindah tempat ke orang-orang seperti saya. Ke orang lain yang menolak untuk membeli setelah ditawarkan barang yang hendak dijual tersebut. Barangkali sudah banyak yang mendapatkan kiriman semangat darinya. Ia memiliki “semangat butuh”, bukan membutuhkan semangat. Ia butuh pemasukan, butuh pembeli, butuh seseorang yang melihat dagangannya, menawar barangnya, atau sebuah senyuman terhadap bulir keringat yang ada di dahinya. Jadi kalau suatu saat anda bertemu dengan penjual yang memiliki “semangat butuh” dan anda tidak berminat membeli dagangannya, maka sebuah senyuman terbaik wajib anda sunggingkan sebagai wujud penghargaan atas “semangat butuh”-nya. Sebab senyuman itu akan berbalik kembali pada anda dengan wujud yang mungkin berbeda.

Orang-orang yang berdagang dan juga suatu badan usaha yang memiliki “semangat butuh” pasti akan berinovasi dan mencari-cari banyak peluang maupun celah agar produknya laku atau minimal entitas usahanya dikenal orang. Kalaupun tidak bertemu peluang maka ia menciptakan sendiri peluang tersebut. Ia adalah seorang pemungkin yang tak kenal lelah maupun surut ide untuk menawarkan dagangannya. Bahkan meskipun orang-orang telah mengenal dan tahu produk apa yang ia jual. Marilah tengok pegawai waralaba mini market/swalayan disekitar tempat anda tinggal yang blusukan ke dalam perumahan atau ke tiap gang dalam kampung hanya untuk menyebarkan brosur dan selebaran berisi daftar harga beserta gambar produk. Biarpun punya nama mentereng dan orang-orang (baca : calon pembeli) sudah mengenal lokasinya dimana dan telah mengerti produk apa yang dijualnya namun ia tetap berpublikasi ria menjangkau tempat tinggal kita sebagai konsumen. Itulah bagian dari “semangat butuh”. Semangat yang melengkapi eksistensi para pedagang, sekalipun namanya telah terkenal.

Pada akhirnya saya hanya ingin mengatakan bahwa kalau anda berdagang sesuatu atau bahkan membuka toko atau warung kecil-kecilan maka berilah nama tempat usaha tersebut, lalu lakukan inovasi (baik dari segi pelayanan atau tampilan) serta publikasikanlah secara merakyat. Tidak perlu modal besar dengan menggandeng biro iklan atau membuat baliho besar yang pajaknya saja membuat rekening anda terkuras. Cukup berbekal fotokopi brosur atau selebaran mengenai usaha anda. Selanjutnya anda bisa membagi-bagikan kartu nama pada siapa saja yang anda kenal. Mau dicetak sablon, diprint komputer atau tulis tangan itu terserah anda. Yang penting kalau anda memilih tulisan tangan jangan sampai membuat sang pembacanya frustasi sebab tulisan anda terlampau jauh dari standar atau dengan kata lain : jelek.

Semangat atau motivasi itu sejatinya tidak pernah hilang dari diri kita. Ia hanya sedikit terkubur oleh berbagai bentuk ketakutan dan kesedihan yang sebenarnya kita adakan sendiri.

Wallahu ‘alam bishawab.

Muhsin Budiono

About muhsin budiono

Karyawan, Followership Practitioner dan Penulis Buku. Mengenyam pendidikan di Institut Teknologi Sepuluh Nopember jurusan Marine Engineering (Lulus tahun 2006) dan Narotama University studi Management (Lulus tahun 2014). Followership Practitioner pertama di Indonesia [Certified by Ira Chaleff, Belgium-2017]. Anggota ILA (International Leadership Association). Pemegang Rekor MURI (Museum Rekor Dunia-Indonesia). Disaat banyak orang Indonesia memuji dan mendalami Leadership, muhsin memilih jatuh hati pada Followership sejak 2007 yang lalu. Di tahun 2013 muhsin menulis buku tentang belajar Followership ala Indonesia berjudul "The Jongos Ways" (TJW) yang fenomenal dan menggugah ribuan pekerja di Indonesia. Berbekal buku TJW muhsin semakin getol membumikan Followership ke seluruh penjuru nusantara secara cuma-cuma/tanpa memungut biaya melalui kegiatan-kegiatan seminar, bedah buku, pembuatan video animasi hingga konsultasi gratis. Hal itu dilakukan sebab menurutnya Indonesia sudah “terlambat” lebih dari 23 tahun dalam mengembangkan Followership. Atas upayanya tersebut pada akhir tahun 2014 muhsin mendapat undangan dari International Leadership Association untuk menghadiri International Followership Symposium di Amerika sebagai satu-satunya wakil dari Indonesia. Disana ia intens berdiskusi dengan beberapa pakar followership dunia dan dinisbatkan sebagai pemerhati followership pertama dari Indonesia. Di tahun 2016 Muhsin juga mendapat kehormatan untuk berbicara tentang Followership dihadapan ratusan praktisi Human Resources di Indonesia dalam forum nasional the 8th Indonesia Human Resources Summit (IHRS). Sementara ini muhsin berkarya di Perusahaan Migas Nasional kebanggaan Indonesia: PT Pertamina (Persero) dan sedang mengumpulkan serta menyusun kerikil demi kerikil untuk dijadikan batu lompatan dalam meraih cita-cita sebagai International Islamic Followership Trainer di tahun 2023 mendatang. Muhsin juga memiliki keinginan kuat untuk resign bekerja agar bisa kuliah/belajar lagi di Saudi Arabia guna mendalami teori Islamic Followership yang sedang dikembangkannya.

Discussion

No comments yet.

Your Comment Please . . .

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Road to International Islamic Followership Trainer

18 June 2023
16 days to go.

Buku Karya Pertama

JTIG : Jadi Trainer itu Gampang

Jadi Trainer Itu Gampang : Panduan Praktis untuk Memulai Menjadi Trainer dan Pemandu Pelatihan di Usia Muda. (LMT Trustco - Jakarta)

Buku Karya Kedua

The Jongos Ways : Pekerja Tangguh yang Bahagia dan Penuh Manfaat itu Anda (Penerbit : Elex Media Komputindo)

Buku Karya Ketiga

Berani Berjuang: Realita Cinta, Pertamina dan Bangsa Indonesia (A tribute to Mr. Ugan Gandar). Elex Media Komputindo

Buku Karya Keempat

Memorable Book Banjir Bandang Kota Bima - NTB tanggal 21 & 23 Desember 2016 (Elex Media Komputindo)

Follow me on Twitter

%d bloggers like this: